TEMPO.CO, Yogyakarta - Pakar politik Universitas Gadjah Mada, Mada Sukmajati, menyatakan semakin tinggi tahapan rekapitulasi, praktek kecurangan juga bertambah dan mudah dilakukan. "Omzet politik uangnya semakin tinggi," kata Mada kepada Tempo, Senin, 14 Juli 2014. (Baca: Jokowi Nol Suara di Sampang, KPUD: Coblosan Normal)
Karena itu, dia menyarankan pemantauan publik dan relawan terhadap potensi kecurangan harus diperketat dalam penghitungan suara di tingkat kecamatan, kabupaten, provinsi, hingga nasional. Dia khawatir pengawalan publik pada proses rekapitulasi suara justru kendor ketika sudah melewati fase tingkat TPS dan kelurahan. "Justru energi dan semangat pengawalannya harus ditambah karena makin rawan," katanya.
Menurut Mada, praktek penambahan angka pada data jumlah suara begitu mudah dilakukan. Sebab, semakin tinggi tingkat rekapitulasi, penggunaan teknologi semakin dominan. Aktor-aktor pelaksana rekapitulasi juga semakin sedikit, sehingga proses penghitungan tersentral. "Rawan pembelian suara grosiran, saksi dan relawan jangan melempem," ujarnya. (Baca: Capres Anda Dicurangi? Ini Cara Lapor ke KPU)
Praktik jual-beli suara seperti itu, kata Mada, melibatkan jaringan mafia klientilisme yang terdiri dari tokoh masyarakat, kader partai, aparat desa, birokrat pemerintah daerah, hingga penyelenggara pemilu. "Saat pileg lalu, prakteknya berlangsung masif di sejumlah kawasan dan terbuka," dia menjelaskan.
Mada mencontohkan, praktek pembelian suara grosiran saat pemilu legislatif muncul di Nias, Bangkalan, Sumatera Selatan, Lampung, Jambi, dan Papua. Dia memperkirakan kawasan itu hanya sebagian sampel dari lokasi rawan pembelian suara grosiran. "Indikatornya, semakin jauh dari perkotaan, kontrol semakin longgar dan praktek kecurangan pun marak," katanya.
ADDI MAWAHIBUN IDHOM
Topik terhangat:
Jokowi-Kalla | Prabowo-Hatta | Piala Dunia 2014 | Tragedi JIS
Berita terpopuler lainnya:
Capres Anda Dicurangi? Ini Cara Lapor ke KPU
Suara Jokowi-JK Nol di 17 TPS di Sampang
Giliran Prabowo Dikirimi 'Surat Cinta'