Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Ratusan mobil truk sampah berjejer rapi di parkiran kantor Dinas Kebersihan DKI Jakarta, Jakarta Timur. Sekujur kendaraan itu dicat dengan warna oranye. Kelirnya masih kinclong. Kursi di bagian kabin masih terbalut plastik. Di sisi luar kabin tercetak tulisan: pengadaan tahun 2015.
Dinas Kebersihan baru saja membeli truk sampah Jakarta. Jumlahnya sebanyak 403 unit, dari 853 truk yang dibeli tahun ini. Anggarannya sebesar Rp 475,4 miliar. "Truk sisanya baru datang akhir tahun," kata Wakil Kepala Dinas Kebersihan Ali Maulana Hakim, Senin, 16 November 2015.
Pemerintah Jakarta berencana membeli truk sampah sebanyak-banyaknya. Tujuannya agar pemerintah tak perlu sewa truk lagi ke pihak ketiga tahun depan. Pemerintah masih sewa sekitar 300 truk sampah tahun ini. "Kami kekurangan armada jadi sewa. Tahun depan tidak akan sewa lagi," ucap Ali.
Ali mengatakan pembelian ratusan truk itu juga sebagai langkah awal rencana pemerintah yang mau mengelola sampah secara mandiri, mulai dari pengangkutan sampai ke tempat pembuangan di Tempat Pengolahan Sampah Terpadu Bantargebang, Bekasi, Jawa Barat.
Karena itu, selain membeli truk sampah sebanyak-banyaknya, Ali berujar, pemerintah juga berencana membeli 18 alat berat tahun depan. Alat berat sebanyak itu akan ditempatkan di Bantargebang untuk mengeruk dan mendistribusikan sampah di sana.
Mengelola sampah di Bantargebang tak cukup dengan membeli alat berat. Ali mengatakan pemerintah juga akan merekrut sekitar 444 orang warga sekitar Bantargebang. Mereka kerja mulai dari operator alat berat, pengolah kompos dan daur ulang, sampai petugas keamanan. Semuanya digaji sesuai dengan upah minimum Jakarta ditambah tunjangan.
Dampak dari rencana pemerintah yang mau swakelola sampah, nasib pengelola Bantargebang. Ali mengatakan akan memutus kontrak kerja sama dengan pengelola Bantargebang: PT Godang Tua Jaya dan PT Navigat Organic Energy Indonesia. "Mereka sudah tidak sanggup mengelola lagi," ucapnya. Soal pembangkit listrik tenaga gas, misalnya.
Ali menganggap pengelola sudah tak sanggup lagi menghasilkan listrik sebanyak 26 megawatt per bulan, seperti yang tertera dalam perjanjian kerja sama antara pemerintah Jakarta dengan mereka. Pengelola hanya mampu mengonversi gas metan menjadi listrik hanya 2 megawatt per bulan. "Mereka wanpretasi."
Selain pengelola tak bisa mengasilkan listrik sesuai dengan perjanjian, Gubernur Jakarta Basuki Tjahaja Purnama menambahkan, pengelolaan sampah di Bantargebang juga merugikan pemerintah Jakarta. Seperti yang tercantum dalam laporan Badan Pemeriksa Keuangan 2014.
Dalam laporan BPK itu, ujar Ahok, pemerintah rugi sekitar Rp 1 miliar karena pengelola tidak benar menimbang sampah. "Timbangan saja mereka curangi," ucapnya. Dalam laporan BPK 2013 kerugian pengelolaan sampah di Bantargebang lebih fantastis: sekitar Rp 182 miliar.
Atas dasar itu Ahok memastikan akan memutus kontrak pengelola Bantargebang. "Kami kelola sendiri karena karena lebih. Tanah milik siapa sertifikatnya? DKI. Iya toh? Kalau tanahnya bukan milik DKI masalah," kata Ahok. Karenanya ia melayangkan surat peringatan pertama ke pengelola.
Jika dihitung dimulai dari terbitnya surat peringatan pertama pada akhir September lalu, Ahok memperkirakan pemerintah baru bisa memutus kontrak pengelola pada Februari tahun depan. Karena dari surat peringatan pertama sampai putus kontrak dibutuhkan waktu sekitar 105 hari. Selama belum diputus, pemerintah masih membayar tipping fee ke pengelola.
Pengacara PT Godang Tua Jaya dan PT Navigat Organic Energy Indonesia, Yusril Ihza Mahendra, tak gentar dengan rencana Ahok yang akan memutus kontrak kerja sama kliennya dengan pemerintah Jakarta. "Saya lawan di pengadilan. Dan kita lihat siapa yang menang nanti," kata Yusril, Kamis, 5 November 2015.
Yusril optimistis akan menang di pengadilan jika Ahok memutus kontrak kerja sama. Karena Ahok lah yang melanggar perjanjian kerja sama. Seperti volume sampah yang dikirim pemerintah ke Bantargebang malah meningkat, tak sesuai dengan kontrak kerja sama. "Orang sekelas saya tidak akan mudah dipermainkan di pengadilan."
Menurut Yusril, jika Ahok memutus kontrak kerja sama dan mengelola sendiri, yang rugi adalah pemerintah Jakarta. Karena pemerintah tak memiliki alat pengolahan sampah seperti milik pengelola. "Mau ditumpuk di Bantargebang? Nanti akan jadi gunung karena tidak ada pengolahan. Kalau sebulan macet, Jakarta jadi lautan sampah."
Direktur PT Godang Tua Jaya Douglas Manurung menambahkan, pengelola tak mau berperkara dengan Ahok. Ia justru ingin mediasi dengan Ahok untuk mengubah perjanjian dengan prinsip saling menguntungkan. "Kami ingin menaikkan tipping fee," ucapnya.
Sama seperti Yusril, pemerintah Jakarta juga tak gentar jika pengelola menggugat ke pengadilan. "Silakan saja," ucap Ali. Jika tak segera diputus, ujar Ali, pemerintah Jakarta akan terus merugi. "Mending kami putus daripada kerugiannya tambah besar."
ERWAN HERMAWAN
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini