Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

arsip

Gairah Muda Berinvestasi Karya Seni

Kolektor karya seni dari kalangan anak muda mulai bermunculan. Setelah banyak belajar, mereka melihat karya seni sebagai instrumen investasi yang menjanjikan.

13 Februari 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Anda Wardhana mendapat keuntungan dari penjualan lukisan dan patung.

  • Bob Soekarno menjual puluhan replika lukisan Eropa selama masa pandemi.

  • Anak muda memiliki daya beli besar terhadap karya seni.

Usia Anda Wardhana belum genap 40 tahun. Namun ada dua koleksi kerisnya berusia hampir satu abad. Keris Singosari, misalnya, dibuat pada 1200 Masehi dan Keris Sriwijaya pada 1000 Masehi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sejak kecil, Anda sudah akrab dengan keris. Namun ia baru serius menjadi kolektor sejak 5-6 tahun belakangan. Pamong sanggar Omah Wulangreh di Jakarta Selatan ini mempelajarinya secara serius. Misalnya, mendalami nilai tak bendanya, motif keris, dan logam.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tak sulit bagi Anda memburu keris dari berbagai daerah. Ia punya jaringan dengan para hunter keris dan kolektor lama. “Mereka yang cari info, lapor, dan akhirnya aku maharin kawan-kawan,” kata Anda kepada Tempo, Senin, 7 Februari 2022.

Selain mencari, Anda membuat keris untuk weton atau hari lahirnya, perkawinan, dan keris yang dibawa setiap hari. Keris untuk weton, Anda menjelaskan, dibuat di Magetan dan akan ia wariskan jika ia sudah tiada.

Hal itu dilakukan agar pemilik baru tetap mengingat pesan yang disampaikannya melalui keris tersebut. Pesan yang tersirat dalam dhapur atau tipe bilah keris itu berbunyi "jalak tilam wangi". “Siapa bisa membahagiakan orang dan sederhana, dia wangi,” ujarnya memaknai pesan tersebut.

Mulanya, Anda hanya gemar mengumpulkan karya seni olah logam tersebut. Namun pandemi Covid-19 memaksanya melepas ratusan kerisnya kepada orang lain. “Yang kusimpan ada 30-an sekarang, yang sudah keluar-masuk mungkin 350-400 dari berbagai daerah.”

Koleksi keris milik Anda Wardhana di Sanggar Omah Wulangreh, Pasar Minggu, Jakarta. Dok. Anda Wardhana

Berkat penjualan keris itu, Anda bisa membayar gaji pegawai serta biaya operasional sanggar seni dan budaya miliknya. Meski begitu, Anda tidak 100 persen menjadikan keris sebagai instrumen investasi. Ketika menjual pun, Anda hanya mencari untung 20 persen untuk biaya pengganti minyak dan memperbaiki keris.

Namun kolektor buku keris Tosan Aji ini mengingatkan agar pemilik mempelajari kerisnya lebih dalam sebelum memutuskan untuk memaharkannya kepada orang lain. “Biar tidak, terjebak atau tertipu,” kata dia.

Anda justru banyak mendapat keuntungan dari penjualan lukisan dan patung. Lukisan paling tua yang ia koleksi dan paling mahal jika dijual adalah karya Sedyono tahun 1970. Anda pernah menjual salah satu karya pelukis tersebut seharga Rp 25 juta. Menurut dia, lukisan Sedyono banyak diincar karena menyolok mata dan terkesan mistis.

Untuk patung, Anda banyak menjual Loro Blonyo berbentuk sepasang pengantin duduk bersila. Patung itu banyak dicari karena dianggap sebagai simbol kemakmuran dan kesuburan. Patung lainnya yang juga populer, kata Anda, berkaitan dengan keagamaan, seperti patung Buddha, Siwa, dan Wisnu.

Menurut Anda, harga patung tidak terlalu fantastis. Ia memperkirakan harganya ratusan ribu hingga jutaan rupiah. Ia biasa memasarkan patung-patung koleksinya di marketplace dan relasi dari istrinya.

Pedagang barang antik dan replika lukisan Eropa, Bob Soekarno. Dok. Bob Soekarno

Perjalanan Bob Soekarno di bisnis barang antik dan seni lain lagi. Pemuda berusia 30 tahun itu menjadi korban pemutusan hubungan kerja (PHK) di salah satu bank swasta sebagai dampak pandemi Covid-19. Jadi, usaha tersebut baru dilakoninya dua tahun ini. Idenya datang dari sang ibu yang gemar mengoleksi barang antik. “Pas dijual, kok, laku ya. Akhirnya mulai cari barang untuk stok.”

Warga Cipondoh, Tangerang, itu lantas mulai memburu barang-barang antik melalui tengkulak dan mencari referensi lewat media sosial. Sejumlah barang yang dijual, di antaranya, piring pajangan, bunga keramik, meja kayu jati, replika lukisan, hingga guci. Bob memasarkannya di media sosial Instagram @nonigalleryantik.

Menurut Bob, lukisan dan guci pajangan menjadi produk paling banyak diincar pembeli. Sejak 2020, sudah puluhan replika lukisan Eropa yang terjual dengan kisaran harga Rp 3 juta. Keuntungan pun bisa 100 persen dari harga beli. 

Koleksi barang antik yang dijual Bob Soekarno dalam Instagram. Dok. Bob Soekarno

Dari dalam negeri, pembeli barang-barang antik di toko Bob kebanyakan dari Jabodetabek dan Surabaya. Pernah juga ia mendapatkan pelanggan dari negara tetangga, seperti Malaysia dan Filipina. “Mereka cari barang Eropa, lampu-lampu gantung, pajangan Capodimonte, kristal bohemia itu lumayan laku,” ujarnya.

Setelah menggeluti usaha tersebut, Bob menilai penjualan barang antik merupakan investasi yang menguntungkan. Sebab, nilai barang-barang tua tersebut akan semakin tinggi jika terawat dengan baik. “Seperti guci, makin berumur lama nilainya makin tinggi.”

***

Kurator Agung Hujatnikajennong mengatakan karya seni, khususnya lukisan, sebagai investasi sudah dimulai sejak lama. Sejarahnya diawali dari pengoleksian yang diinisiasi Presiden RI pertama, Sukarno, untuk kebutuhan pribadi sampai 1970. 

Di era 1980, kata Agung, muncul pengoleksian lukisan untuk kebutuhan dekorasi kantor, hotel, dan rumah-rumah mewah karena derasnya urbanisasi saat itu. “Orang yang koleksi lebih untuk kebutuhan estetik,” kata dia.

Pada 1990-an, pria kelahiran Tasikmalaya ini mengatakan mulai ada jual-beli karya seni Indonesia ke lelang internasional dengan dolar. Para penjual ini kemudian mendapatkan keuntungan besar karena nilai mata uang tersebut tinggi.  

Kurator, Agung Hujatnikajennong. Dok.TEMPO/Nurdiansah

Ketika krisis moneter melanda, orang-orang banyak yang menjual koleksi lukisannya. Kemudian pada awal 2000, kolektor yang berinvestasi di lukisan mulai muncul setelah Cina sukses melahirkan pasar seni rupa. Menurut Agung, gelombang perubahan tersebut sampai sekarang masih mempengaruhi tren pengoleksian lukisan. 

Belakangan ini, kata Agung, muncul perubahan pada skema pengoleksiannya karena Internet dan media sosial. Salah satunya lewat kemunculan NFT atau non-fungible token yang berbasis teknologi blockchain. “Di Internet, penyebaran info tidak terduga sehingga muncul generasi peminat seni yang digital native.”  

NFT layaknya sertifikat hak cipta dapat menjamin keaslian suatu karya seni yang dimiliki oleh penggunanya. Dalam hal ini, sertifikat NFT dalam bentuk digital. Agung mengatakan pola transaksi jual-beli karya seni pun ikut berubah dari yang tadinya di ruang fisik, kini menjadi ruang digital.

VIP Relations Director Art Jakarta, Hafidh Ahmad Irfanda, menambahkan, kemunculan NFT ini banyak dimanfaatkan anak muda yang lancar menggunakan gawai dan teknologi. NFT, menurut dia, juga membuat banyak anak muda kaya mendadak. Dengan begitu, mereka memiliki daya beli yang besar, salah satunya terhadap lukisan.

Perubahan ini dinilai cukup terasa ketika masa pandemi. Irfan mengungkapkan, sebelum pandemi Covid-19 melanda, daya beli yang besar terhadap lukisan biasanya didominasi orang-orang yang lebih senior. “Tapi selama masa pandemi mereka lebih selektif untuk beli dan tidak terlalu agresif membeli karya,” kata Irfan.

Irfan menuturkan antusiasme anak muda dalam karya seni juga terlihat dari aktivitas mereka ketika datang ke pameran. Dari yang awalnya sekadar berfoto-foto, kini anak muda mulai mencari tahu seluk-beluk lukisan yang mereka sukai. Mereka juga dinilai lebih pintar, kritis, dan memahami lukisan yang bernilai. 

Dalam menjadikan lukisan sebagai investasi, General Manager IndoArtNow ini melihat prosesnya tidak jauh berbeda dengan instrumen lainnya, seperti saham. Rata-rata kolektor awalnya akan salah beli lukisan. Lalu dari situ mulai belajar dengan sering datang ke galeri dan museum, hingga mencari rekam jejak senimannya.

“Dari visi presentasi pamerannya bagus atau tidak. Dari konsep dan konteks karya bagus atau tidak. Lihat dari visi pasarnya, ternyata baru pameran satu hari sudah sold out. Itu faktor-faktor yang dipelajari.”

FRISKI RIANA
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus