Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Sebelum TikTok masuk Tokopedia, saham GoTo juga dikuasai Alibaba lewat Taobao China Holding Limited.
Perusahaan e-commerce lokal lain yang sahamnya dikuasai asing adalah Bukalapak.
Penguasaan asing di saham e-commerce lokal memperbesar risiko masuknya barang-barang impor berharga murah.
JAKARTA — Kongsi antara PT GoTo Gojek Tokopedia Tbk dan TikTok Pte Ltd (Singapura) bakal kian menegaskan dominasi investor Cina di industri e-commerce Indonesia. TikTok, anak perusahaan ByteDance Ltd yang bermarkas di Beijing, akan berdiri di jajaran raksasa teknologi dan investasi asal Cina yang menguasai layanan lokapasar dalam negeri, seperti Tencent Holding Ltd yang memiliki sebagian saham Shopee serta Alibaba Group Holding Limited di Lazada.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebagaimana diketahui, GoTo dan TikTok menyepakati perjanjian pengambilan saham PT Tokopedia pada 10 Desember lalu. GoTo akan melepas 75,01 persen saham Tokopedia kepada TikTok senilai US$ 840 juta atau setara dengan Rp 13,18 triliun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Selain itu, Tokopedia akan menerima promissory note senilai US$ 1 miliar atau setara dengan Rp 15,7 triliun untuk modal kerja di masa mendatang. Rencana tersebut diikuti pengalihan kepemilikan dan hak operasi TikTok Shop di Indonesia kepada Tokopedia. Nilai kontraknya mencapai US$ 340 juta atau sekitar Rp 5,33 triliun.
Masuknya TikTok ke Tokopedia membuat investasi perusahaan Cina di anak usaha GoTo tersebut membesar. Sebelum dilebur dengan GoJek menjadi GoTo, Tokopedia sudah mendapat suntikan dana dari beberapa perusahaan asal Negeri Tirai Bambu, seperti Alibaba Group, JD.com, dan Tencent. Merger dengan Gojek membuat hampir seluruh saham Tokopedia dimiliki GoTo. Setelah GoTo tercatat di Bursa Efek Indonesia, kepemilikan Alibaba di grup ini tercatat 8,72 persen melalui Taobao China Holding Limited.
Suasana kantor Tokopedia di Jakarta, 12 Desember 2023. TEMPO/Tony Hartawan
Kepemilikan Cina pada lokapasar lokal juga tercatat pada Bukalapak. Setelah mencatatkan sahamnya di Bursa Efek Indonesia, saham emiten berkode BUKA ini dimiliki dua entitas asing: API (Hong Kong) Investment Limited yang menguasai 13,04 persen dan Archipelago Investment Pte Ltd sebesar 9,44 persen. API merupakan anak usaha Ant Group, yang juga terafiliasi dengan Alibaba. Sedangkan perusahaan investasi Archipelago berasal dari Singapura.
Direktur Center of Economic and Law Studies Nailul Huda mengatakan, dengan akuisisi ini, Tokopedia tak lagi bisa sepenuhnya disebut sebagai e-commerce asli Indonesia. “Semua pemain layer satu sudah dikendalikan oleh perusahaan asing, pemain lokal cenderung kalah,” ucapnya kepada Tempo, kemarin.
Huda menjelaskan, persaingan e-commerce Tanah Air saat ini membentuk tiga layer. Lapisan pertama atau top tier ditempati oleh Shopee dan Tokopedia. Lazada, Bukalapak, dan Blibli menyusul di lapisan kedua. Sedangkan layer ketiga diisi oleh banyak platform e-commerce skala kecil.
Merujuk pada laporan Momentum bertajuk "e-Commerce in Southeast Asia 2023", pangsa pasar lokapasar di Indonesia saat ini paling besar masih dikuasai oleh Shopee, yaitu sebesar 36 persen. Tokopedia dan Lazada menempati urutan kedua dan ketiga, masing-masing menguasai pangsa pasar 35 persen dan 10 persen. Sedangkan 20 persen pangsa pasar yang tersisa diperebutkan Bukalapak, TikTok Shop, dan Blibli.
Walhasil, kolaborasi Tokopedia dan TikTok diperkirakan membuat persaingan di antara pemain pada layer pertama semakin sengit. Perebutan pasar terbesar akan semakin meruncing pada Shopee versus Tokopedia, dengan ekosistem digital masing-masing. “Siapa yang memiliki ekosistem paling komplet dan disukai pengguna, maka dialah yang akan memenangi persaingan,” kata Huda.
Risiko Penguasaan Asing pada e-Commerce Lokal
Supremasi asing di industri e-commerce Tanah Air ini, menurut Huda, mendatangkan kekhawatiran baru. Salah satunya adalah potensi banjirnya barang-barang impor melalui berbagai skenario. Huda mengatakan perlu ada pengawasan ketat terhadap praktik impor barang yang diperdagangkan di e-commerce. Terlebih, pemerintah telah menerbitkan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 31 Tahun 2023 tentang Ketentuan Perizinan Usaha, Periklanan, Pembinaan, dan Pengawasan Pelaku Usaha dalam Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE).
“Dalam aturan itu diatur setiap barang impor wajib mencantumkan informasi asal negaranya, lalu diwajibkan juga mengurus sertifikasi, seperti SNI dan BPOM, ketika masuk ke Indonesia,” ujar dia. Ketentuan berikutnya adalah soal impor barang cross border yang kini dibatasi minimal US$ 100 atau kurang-lebih Rp 1,5 juta.
Direktur Eksekutif Indonesia ICT Institute Heru Sutadi, mengimbuhkan, persoalan tergerusnya kepemilikan lokal di industri e-commerce Tanah Air memang tak terhindarkan, mengingat Indonesia tidak memiliki regulasi khusus yang mengatur tentang investasi di sektor ekonomi digital.
“Kalau di negara-negara lain, sudah ada aturan yang mengatur tentang batasan maksimal kepemilikan asing di perusahaan e-commerce lokal, misalnya, maksimal 49 persen saja,” kata Heru. Tak hanya itu, regulasi juga mencakup tentang hak voting untuk entitas pengendali saham di perusahaan tersebut. Menurut dia, hal itu idealnya masuk menjadi pertimbangan pemerintah untuk mendorong kemajuan industri ekonomi digital di masa depan sekaligus melindungi entitas usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).
Haru juga menyoroti soal pelindungan data serta informasi. Dalam konteks merger Tokopedia dan TikTok, kata dia, ada risiko penguasaan data masif, terutama ketika praktik social commerce tetap dijalankan. Hal ini karena pada praktiknya seluruh data akan terintegrasi, dari media sosial, perdagangan, hingga transaksi keuangan. “Penguasaan data ini bisa dimanfaatkan seluas-luasnya secara positif, tapi bisa juga disalahgunakan," ujar dia. "Hal ini yang harus dikendalikan agar tidak berdampak negatif terhadap industri e-commerce dan perekonomian secara keseluruhan.”
Staf Khusus Menteri Koperasi dan UKM Bidang Pemberdayaan Ekonomi Kreatif Fiki Satari mengakui kehadiran entitas global dengan permodalan kuat kian menggerus eksistensi pelaku lokapasar lokal. “Apalagi platform yang terafiliasi asing ini, kita tahu, punya bisnis yang menguasai hulu hingga hilir. Dari platform dagang, logistik, sistem pembayaran, media promosi, mereka punya semuanya sendiri,” ucapnya, kemarin.
Walhasil, penguasaan ekosistem yang masif itu cenderung menguntungkan untuk menarik pembeli, memperluas pangsa pasar, dan meningkatkan transaksi. “Yang dikhawatirkan lagi-lagi adalah soal penguasaan data yang terlalu besar oleh entitas asing, menjadikan ekonomi lokal tidak sepenuhnya menikmati pesatnya perkembangan industri e-commerce dan digital,” kata Fiki.
Dia mengingatkan, meski banyak dikuasai entitas asing, platform e-commerce yang beroperasi di Indonesia harus mengedepankan keberpihakan kepada pelaku UMKM lokal. “Praktik predatory pricing juga harus dihentikan, persaingan harus secara sehat.”
Ihwal kekhawatiran tersebut, sebelumnya Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki meminta TikTok dan Tokopedia mematuhi aturan pemisahan platform lokapasar dengan media sosial, seperti yang dijalankan TikTok Shop. Teten juga mengingatkan agar kedua perusahaan itu tak memberi ruang bagi barang dumping—barang ekspor yang dijual lebih murah—dari negara asalnya.
Sebagai bentuk pelindungan bagi produk lokal, TikTok dan Tokpedia juga tak diperbolehkan menjual barang yang harganya di bawah harga pokok penjualan dalam negeri. Ada pula larangan kedua perusahaan menjual produk sendiri. “Kami hanya mengingatkan komitmen mereka yang ingin memprioritaskan produk UMKM dalam negeri,” kata Teten dalam keterangannya, awal pekan ini.
Persaingan di Papan Tengah
PT Global Digital Niaga Tbk (BELI) praktis menjadi satu-satunya e-commerce berstatus perusahaan terbuka dengan kepemilikan lokal yang tersisa. Mayoritas saham BELI saat ini dikuasai PT Global Investama Andalan yang terafiliasi dengan Grup Djarum. Sebagai pemain di papan tengah, Blibli masih harus berupaya meningkatkan pangsa pasar untuk dapat merangsek ke jajaran top tier pemain e-commerce, menyaingi Shopee, Tokopedia-TikTok, dan Lazada.
Analis Mirae Asset Sekuritas Nafan Aji Gusta mengatakan, jika melihat kinerjanya, BELI masih mencatatkan rugi bersih, meski jumlah kerugian itu terus berkurang dari waktu ke waktu. “Performanya menunjukkan peningkatan yang progresif seiring dengan peningkatan gross transaction value (GTV) dan gross merchandise value (GMV),” ucapnya.
Dalam laporan kinerja per kuartal kedua 2023, BELI mencatatkan kenaikan pendapatan 15,8 persen menjadi Rp 7,77 triliun, dengan kerugian yang menyusut 29,7 persen menjadi Rp 1,74 triliun. Kinerja positif itu didukung oleh kenaikan kunjungan per bulan, dari 25,4 juta kunjungan per bulan pada kuartal I 2023 menjadi rata-rata 27,1 juta kunjungan per bulan pada kuartal II 2023.
Setali tiga uang, pemain papan tengah lainnya, Bukalapak, juga mencatat kinerja serupa. Hingga semester I 2023, BUKA mencatatkan peningkatan pendapatan 29 persen menjadi Rp 2,18 triliun, dengan rugi bersih sebesar Rp 349 miliar. Pendapatan itu ditopang oleh dua sektor, yaitu pendapatan mitra sebesar Rp 1,03 triliun atau tumbuh 7 persen dan pendapatan marketplace yang tumbuh 75 persen menjadi Rp 1,2 triliun.
Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan (tengah) bersama Presiden Tokopedia Melissa Siska Juminto (kiri) dan Direktur Eksekutif E-Commerce TikTok Indonesia Stephanie Susilo saat peluncuran kampanye "Beli Lokal" pada Hari Belanja Online Nasional (Harbolnas) 12.12, 2023 di Jakarta, 12 Desember 2023. TEMPO/Tony Hartawan
Valuasi Tokopedia Terlalu Murah
Sementara itu, akuisisi mayoritas saham Tokopedia oleh TikTok belakangan juga menjadi sorotan pelaku pasar. Pasalnya, pasar menilai valuasi Tokopedia terlalu rendah. TikTok menginvestasikan US$ 1,5 miliar atau setara dengan Rp 22,5 triliun (asumsi kurs 15 ribu per dolar Amerika Serikat) sebagai komitmen jangka panjang untuk mendapatkan kepemilikan saham sebesar 75,01 persen.
Dalam risetnya, Mandiri Sekuritas menyebutkan valuasi Tokopedia sebesar US$ 2 miliar atau setara dengan Rp 30 triliun tidak mencerminkan nilai wajar perusahaan baru yang akan dioperasikan Tokopedia untuk mengelola TikTok Shop. “Harus ada penciptaan nilai jangka panjang sebagai perusahaan e-commerce terbesar di Indonesia, dengan potensi pangsa pasar gabungan lebih besar hingga 60 persen di masa mendatang,” demikian isi riset tersebut.
Pendapat serupa disampaikan oleh Tim Riset Indo Premier Sekuritas, Ryan Winipta dan Reggie Parengkuan, yang menyatakan valuasi Tokopedia dan TikTok Shop saat ini cenderung masih lebih rendah dibanding potensinya. Adapun valuasi TikTok Shop sendiri mencapai US$ 340 juta atau setara dengan Rp 5,1 triliun sehingga gabungan keduanya menghasilkan valuasi Rp 35,1 triliun.
Dalam keterangan terpisah, induk usaha TikTok, ByteDance; dan TikTok Pte Ltd hingga kini masih terus berkoordinasi dengan GoTo Group untuk menyelesaikan pengambilalihan saham. Sekretaris Perusahaan GoTo Koesoemohadiani mengatakan Tokopedia akan menerbitkan 28.198.745 lembar saham baru atau mewakili 75,01 persen dari seluruh modal ditempatkan dan disetor Tokopedia. Saham baru itu nantinya diserap oleh TikTok untuk mengambil bagian atas saham Tokopedia.
“TikTok harus membayar US$ 840 juta atau setara dengan Rp 13,18 triliun kepada Tokopedia untuk dapat mengambil bagian atas saham itu,” kata Koesoemohadiani. Dengan demikian, TikTok membayar sekitar Rp 345 untuk setiap lembar saham Tokopedia dan transaksi ini diharapkan dapat selesai sepenuhnya paling lambat pada 31 Maret 2024.
Setelah itu, kepemilikan GoTo pada Tokopedia akan berkurang menjadi hanya 24,99 persen. Ia memastikan GoTo akan terus menggenggam porsi kepemilikan itu. “Kami telah sepakat kepemilikan GoTo tidak akan terdilusi meski akan ada pendanaan lanjutan di masa depan oleh TikTok.”
GHOIDA RAHMAH
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo