Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Wakil Ketua Komisi Energi DPR RI Eddy Soeparno meminta Perusahaan Listrik Negara atau PLN mengevaluasi aturan tentang Penertiban Pemakaian Tenaga Listrik (P2TL). Hal ini buntut sejumlah kejadian pelanggan yang tiba-tiba dikenakan denda besar oleh PLN karena diduga melanggar aturan tanpa ada peringatan sebelumnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Eddy menuturkan tidak semua pelanggan PLN nakal atau dengan sengaja mengotak-atik meteran listrik sampai rusak sehingga dinilai melanggar aturan P2TL. Biasanya, kata dia, pelanggan tidak mengetahui perilaku apa yang membuatnya didenda oleh PLN.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Banyak yang tidak tahu, banyak yang kemudian misalnya (kerusakan meteran listrik) dilakukan oleh kontraktor rumahnya,” ucap Eddy saat dihubungi pada Kamis, 18 Januari 2024.
Politikus PAN itu mencontohkan beberapa kasus yang biasanya menyebabkan warga didenda hingga puluhan juta oleh PLN. Pertama, pelanggan sengaja mengutak-atik meteran listrik PLN sehingga tidak berfungsi sebagaimana mestinya. “Misalnya, tagihannya itu relatif tinggi menjadi rendah,” kata dia.
Kasus lain, saat pelanggan hendak merenovasi rumahnya dan harus mencabut meteran listriknya. Namun, pelanggan tidak berkoordinasi terlebih dahulu dengan PLN dan menggunakan jasa orang lain untuk mencopot meteran listrik tersebut. Hingga akhirnya adanya perubahan meteran listrik ini baru diketahui ketika petugas PLN melakukan pengecekan yang berujung denda tinggi.
“PLN sudah punya perhitungan untuk menetapkan dendanya terhadap pelanggan. Nah itu ada formulanya, tetapi memang formula itu sangat tinggi,” kata Eddy. Sehingga denda itu menyulitkan pelanggan.
Terlebih, kata Eddy, PLN tidak pernah mensosialisasikan denda tersebut secara bertahap. Pelanggan biasanya ujug-ujug diberi surat peringatan dengan denda yang sudah tinggi. Sebabnya ia mengimbau agar regulasi P2TL dievaluasi kembali terutama formula saat memberikan denda.
“Ibaratnya dia ke pasar mencuri ikan, tapi dihukumnya seumur hidup. Menurut saya, asas keadilan daripada denda itu saya kira perlu dievaluasi oleh PLN dan perlu disosialisaskan kepada pelanggan,” ucapnya.
Menurut catatan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) 2023 lalu, terdapat 17 orang yang mengeluh tentang permasalahan di PLN. Dari data tersebut, sebanyak 9 orang mengeluh karena P2TL. Ada yang meminta permohonan keringanan atas tagihan sebesar Rp 5,4 juta hingga Rp 20 juta. Dalam hal ini, mereka merasa keberatan atas denda yang diberikan.
Baru-baru ini, kasus denda PLN terulang kembali dan mendapat komplain di media sosial seperti X. Sebuah akun @brosalind menjelaskan kronologi kejadian sampai dia harus membayar denda atau tagihan listrik sebesar Rp 41,8 juta. Laporan itu diunggahnya pada Kamis, 11 Januari 2024. Kasus itu adalah salah satu kasus yang sering terjadi.
Saat dihubungi secara pribadi, Rosalind mengatakan telah berunding dengan PLN dan sudah mengajukan surat keberatan. “Kami sudah dapat surat panggilan. Besok kami diundang untuk hadir ke kantor PLN UP3 Kebon Jeruk,” ucapnya pada Rabu, 17 Januari 2024.
Meski begitu, proses itu terbilang memakan waktu dan tenaga. PLN berujar pelanggan dapat memberikan surat keberatan secara tertulis kepada Tim Keberatan P2TL, yaitu tim gabungan yang terdiri dari PLN dan pihak independen dari Dirktorat Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian ESDM. Mereka bertugas mengevaluasi dan mengkaji pengajuan keberatan pelanggan.
Eddy mengatakan belum ada pembahasan yang mendalam di rapat DPR soal perkara tersebut. Ia tak menjelaskan mengapa hal itu tak dibahas. Namun, secara tegas ia meminta PLN agar mengevaluasi regulasi yang mereka miliki serta mengsosialisasikannya ke masyarakat.
Pilihan Editor: Tiga Kasus Viral PLN vs Pelanggan di Jakarta: Denda Puluhan Juta hingga Lansia Cekcok dengan Petugas