Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Banjir Berulang Sebelum Menambang

Dua kali terjadi banjir di Wadas sejak dibangun jalan penghubung ke lokasi tambang andesit. Ancaman tanah longsor hantui warga.

11 Juli 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Banjir disertai lumpur di Wadas pada Sabtu lalu lebih parah dibanding banjir pertama.

  • Warga Wadas khawatir akan bencana tanah longsor ketika kegiatan tambang andesit dimulai.

  • Banjir di Wadas dianggap sebagai bukti terjadinya kerusakan lingkungan.

DUA warga yang berboncengan menggunakan sepeda motor terjatuh saat melewati jalan utama Dusun Karang Krajan, Desa Wadas, Kecamatan Bener, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah, Sabtu sore, 8 Juli lalu. Jalan utama tersebut terendam air bercampur lumpur akibat hujan deras yang mengguyur perkampungan ini.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pekerja pembangunan jalan penghubung ke lokasi tambang andesit di Wadas merekam dengan video ponsel insiden tersebut. Rekaman itu yang tersebar di grup WhatsApp warga Wadas.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Talabudin, 32 tahun, membenarkan adanya insiden tersebut. Warga Wadas ini mengatakan banjir di permukiman terjadi akibat hujan mengguyur, sore itu. Banjir air bercampur lumpur di jalan itu setinggi 40 sentimeter. Kondisi ini menyulitkan pengendara melintas.

Banjir serupa juga terjadi di titik yang sama pada 27 Maret 2023. Namun air kali ini lebih tinggi dibanding pada Maret lalu. “Sudah dua kali terjadi banjir sejak pembukaan jalan ke lokasi tambang,” kata Talabudin, Senin, 10 Juli lalu.

Ia menegaskan, penyebab banjir akibat pembukaan jalan penghubung ke lokasi tambang quarry atau penambangan terbuka andesit di Desa Wadas. Andesit akan menjadi bahan baku pembangunan Bendungan Bener, yang berjarak 11 kilometer dari Wadas. 

Banjir di Desa Wadas, Jawa tengah, 8 Juli 2023. Dok. Warga Desa Wadas, Budin

Jalan penghubung diperkirakan sepanjang 1,8 kilometer. Rencananya, jalan penghubung itu berada di tebing atau lereng perbukitan, yang posisinya lebih tinggi daripada jalan utama desa maupun permukiman penduduk.

Untuk membuka jalan, pekerja lebih dulu menggunduli lahan yang akan dijadikan akses penghubung ke lokasi tambang. Awalnya, lahan itu dipenuhi pepohonan dan tanaman lebat, yang berfungsi sebagai daerah serapan air. Dengan demikian, ketika hujan mengguyur, air tidak langsung mengalir ke permukiman warga.

Penggundulan lahan diduga kuat menjadi penyebab dua kali banjir disertai lumpur di Wadas selama tahun ini. Dua kali banjir itu selalu sampai di permukiman warga. Sebelum penggundulan lahan, warga Wadas tak pernah merasakan banjir.

“Banjir juga mengotori Sungai Juweh sampai sekarang. Warnanya menjadi cokelat lumpur. Padahal sungai ini biasa digunakan mandi dan mencuci,” ujar Talabudin.

Warga Wadas lainnya, Siswanto, 30 tahun, mengatakan, setelah banjir pada 23 Maret lalu, pemerintah daerah memberi solusi dengan mengganti gorong-gorong yang berukuran lebih lebar. Mereka berasumsi bahwa penyebab banjir karena gorong-gorong kecil dan tertutup lumpur. Namun, kata dia, banjir di permukiman tetap terjadi saat hujan deras turun.

"Ini bukti bahwa penyebab banjir adalah aktivitas pembukaan lahan,” kata Siswanto. 

Beberapa perubahan akibat pembukaan lahan untuk akses jalan ke lokasi tambang, Desa Wadas, Jawa Tengah, 2023. Dok. Warga Desa Wadas, Budin

Menurut Siswanto, akses penghubung ke lokasi tambang berada di perbukitan dan posisinya lebih tinggi dibanding jalan. Dengan demikian, saat terjadi penggundulan, otomatis air disertai lumpur akan langsung mengalir ke jalan dan permukiman. “Seusai hujan, kami harus bersihkan lumpur itu di jalan supaya bisa dilewati lagi,” kata dia. 

Siswanto berharap pemerintah menghentikan rencana penambangan andesit di Wadas. Ia khawatir tambang andesit seluas 114 hektare atau sepertiga dari luas Desa Wadas akan memperparah terjadinya banjir. Apalagi lokasi tambang berada di posisi lebih tinggi dibanding permukiman penduduk.

“Wilayah kami di perbukitan. Permukiman tepat di kaki bukit Wadas. Kalau ada penambangan, dampak tanah longsor dan kebanjiran pasti akan terjadi,” ujarnya. “Baru membersihkan lahan saja sudah mengakibatkan banjir, bagaimana kalau sudah menambang?” 

Kontroversi penambangan quarry di Wadas berlangsung sejak dua tahun lalu. Sebagian besar warga Wadas menentang rencana penambangan andesit di hutan desa mereka karena akan merusak lingkungan dan menghilangkan mata pencarian masyarakat, yang mayoritas sebagai petani.

Mereka menggelar berbagai aksi penolakan, di antaranya pada 8 Februari 2022. Saat itu, pihak Badan Pertanahan Nasional hendak mengukur tanah warga yang setuju dijadikan lokasi tambang. Ratusan polisi yang mengamankan pengukuran tanah bertindak represif. Polisi menangkap 60 warga. Namun belakangan mereka dilepaskan. 

Bendungan Bener masuk dalam proyek strategis nasional. Bendungan ini direncanakan mengaliri lahan sawah seluas 15.069 hektare. Proyek yang dimulai sejak 2018 ini ditargetkan rampung pada tahun ini. 

Anggaran proyek bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara lewat Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat sebesar Rp 2,06 triliun. Bendungan tersebut dikerjakan oleh tiga perusahaan badan usaha milik negara, yaitu PT Brantas Abipraya, PT Pembangunan Perumahan, dan PT Waskita Karya Tbk.

Dalam pembangunan bendungan, pemerintah berencana mengambil andesit di Wadas. Izin bendungan itu satu paket dengan penambangan andesit di Wadas. Sesuai dengan rencana, pemerintah akan mengambil 15,53 juta meter kubik andesit di sini.

Kepala Bidang Pelaksanaan Jaringan Sumber Air (PJSA) Balai Besar Wilayah Sungai Serayu-Opak (BBWSSO), Yosiandi Redi Wicaksono, serta juru bicara Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Endra S. Atmawidjadja, belum membalas pesan dan panggilan telepon dari Tempo hingga berita ini diturunkan.

Bukti Lingkungan Diabaikan

Juru kampanye hutan Greenpeace Indonesia, Sekar Banjaran Aji, mengatakan kawasan di sekitar Wadas merupakan hutan lindung, yang berfungsi sebagai penyangga agar tidak terjadi banjir. “Namun pertambangan membuat penyangga hilang, sehingga terjadi banjir,” kata Sekar.

Sekar mengatakan aktivitas tambang berdampak besar terhadap ketersediaan air. Ketika musim kering, kata dia, air akan sulit didapatkan. Namun, saat musim hujan, air justru melimpah hingga mengakibatkan banjir akibat pepohonan sudah ditebang. 

Selain itu, kata dia, aktivitas pertambangan akan menghilangkan sebagian ekosistem. Biodiversitas tidak akan sebanyak sebelum ada pertambangan. Hewan-hewan akan pergi meninggalkan tempat tersebut.

Menjadi masalah karena warga Wadas banyak yang membudidayakan lebah. Lebah tidak akan nyaman hidup di hutan yang kualitasnya kurang bagus. “Ujung-ujungnya mata pencarian warga yang hilang,” ujar Sekar.

Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Yogyakarta, Gandar Mahojwala, mengatakan banjir di Wadas diakibatkan daya dukung dan daya tampung lingkungan sudah rusak. Aktivitas pembukaan lahan menyebabkan tidak ada lagi penyangga air sehingga meningkatkan kerentanan terhadap banjir. 

“Selain banjir, potensi tanah longsor akan terjadi bila aktivitas penambangan dilanjutkan,” kata Gandar.

Menurut Gandar, Desa Wadas sebetulnya sudah dianalisis sebagai tempat rawan banjir dan tanah longsor, meski tak ada tambang. Analisis ini muncul karena perbukitan Wadas merupakan penyangga Bedang Menoreh yang rawan bencana. “Keberadaan tambang quarry akan meningkatkan terjadinya bencana tersebut,” katanya. 

Ia menegaskan, bencana banjir ini menjadi bukti terjadinya kerusakan lingkungan. Kerusakan lingkungan akan bertambah parah jika penambangan andesit dimulai. “Kami minta supaya ada pembatalan pertambangan ini,” kata Gandar. 

Manajer Kajian Hukum dan Kebijakan Walhi, Satrio Manggala, mengatakan banjir disertai lumpur ini merupakan risiko yang sudah diprediksi dalam analisis mengenai dampak lingkungan (amdal). Selain banjir, beberapa potensi dampak dari aktivitas pertambangan di Wadas nantinya adalah perubahan bentang alam, meningkatnya potensi longsor, run off air karena hilangnya pepohonan, penurunan kualitas air, kebisingan, dan penurunan kualitas udara. “Beberapa yang sudah terjadi pasca-pembukaan lahan untuk akses tambang adalah tanah longsor, run off air, penurunan kualitas air, dan kebisingan,” kata Satrio. 

HENDRIK YAPUTRA

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus