Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Ahli epidemiologi Universitas Indonesia Syahrizal Syarif menilai kebijakan ganjil genap di kios atau toko pasar tradisional tidak efektif mencegah penularan virus corona.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
"Kebijakan tersebut tidak bakal menjamin protokol kesehatan bisa dijalankan dengan baik di pasar tradisional," kata Syahrizal saat dihubungi, Selasa, 16 Juni 2020.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Dalam pengelolaan pasar tradisional, kata dia, yang perlu diatur adalah konsumen yang datang. "Pedagang menjadi kelompok yang paling berisiko tertular karena jumlah kontak per satuan waktunya tinggi."
Dalam sehari, kata dia, pedagang bisa berhadapan dengan puluhan pembeli sehingga mereka yang perlu dilindungi. "Pemerintah kalau bisa membantu faceshield dan sarung tangan plastik. Pasar juga perlu menyediakan fasilitas cuci tangan dan pengaturan satu arah. Kalau bisa malah cek suhu bagi pengunjung."
Pemerintah, kata dia, mesti berfokus terhadap pencegahan penularan virus corona di pasar tradisional. Sebabnya, para pedagang di pasar tradisional masuk dalam kategori orang yang berisiko tinggi terhadap penularan Covid-19, ketimbang di pusat perbelanjaan modern yang telah dibuka pada Senin kemarin.
"Mal mempunyai sumber daya yang cukup untuk menerapkan protokol kesehatan dengan baik. Sedangkan pasar tradisional tidak," katanya.
Menurut epidemiolog UI itu, pengunjung pasar tradisional lebih sulit diatur dibandingkan pembeli di mal atau pasar modern. Selain itu, ruangan di dalam mal memungkinkan pengaturan jarak fisik atau physical distancing. "Sedangkan pasar tradisional bakal sulit untuk pengaturan jarak," ucapnya.
Ikatan Pedagang Pasar Indonesia (IKAPPI) menyebutkan terdapat 64 pedagang pasar tradisional di Jakarta yang positif Covid-19. Mereka berasal dari 9 pasar di berbadai pelosok Jakarta.