Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Pemilihan Umum atau Pemilu 2019 sudah berlangsung. Gongnya pada Rabu, 17 April 2019 ditandai dengan pencoblosan serentak di 800 ribuan Tempat Pemungutan Suara (TPS) di seluruh Indonesia. Meski begitu, masih ada sejumlah persoalan yang membayangi Pemilu serentak ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sejumlah petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) di Kabupaten Sleman, Yogyakarta, misalnya, berencana menggelar unjuk rasa di Komisi Pemilihan Umum atau KPU setempat pada Senin, 22 April 2019. “Honor kami sampai sekarang belum dibayar,” kata Darmanto, Ketua KPPS TPS 44 Desa Balecatur, Gamping, Sleman ketika dihubungi pada Senin, 22 April 2019.
Darmanto mengeluh padahal mereka sudah bekerja nyaris 24 jam ketika hari pencoblosan. Bahkan ia rela beberapa kali membolos kerja karena harus mengurusi ajang lima tahunan ini. Alih-alih mendapat bayaran tepat waktu, hingga sekarang ia dan kawan-kawannya di 3.3392 TPS di Sleman belum menerima honor.
Petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) membatu warga memasukkan surat suara kedalam kotak suara saat pemungutan suara ulang di TPS 8, Winong, Karangjati, Wonosegoro, Boyolali, Jawa Tengah, Sabtu, 27 April 2019. Pemungutan suara ulang tersebut dilaksanakan dikarenakan terjadi pelanggaran kode etik penyelenggara Pemilu KPPS dengan mencobloskan hak pilih milik warga tanpa surat C3 atau surat pendampingan yang jelas. ANTARA
Honor yang seharusnya dibayarkan adalah Rp 550 ribu untuk ketua KPPS, Rp 500 ribu anggota KPPS, dan petugas Linmas RP 400 ribu. Di setiap TPS ada tujuh orang anggota KPPS termasuk seorang ketua dan seorang petugas Linmas.
Kecilnya honor petugas KPPS ini memang menjadi salah satu sorotan di Pemilu 2019. Sebab, dengan upah kecil para petugas ini harus bekerja berbulan-bulan menyiapkan coblosan. Belum lagi sistem coblosan di Pemilu 2019 yang berbeda dengan 2014. Di Pemilu kali ini, Pemilihan Presiden menjadi satu dengan legislatif baik tingkat nasional, provinsi, kota atau kabupaten plus DPD.
Walhasil, ketika hari coblosan para petugas KPPS harus berjibaku nyaris 24 jam. Mulai dari mempersiapkan TPS, sampai perhitungan suara yang berlarut-larut. Bayangkan saja mereka harus menghitung lima kertas suara.
Tak heran jika Pemilu 2019 ini juga diwarnai dengan laporan banyak petugas KPPS yang meninggal karena kelelahan. Seorang anggota KPPS di Desa Lalonggotomi, Kecamatan Pondidaha, Konawe, Sulawesi Tenggara, Sri Utami, misalnya, keguguran setelah nyaris 24 jam berkutat di TPS untuk mempersiapkan coblosan hingga penghitungan suara.
Muhammad Agus, suami Sri Utami, pasrah atas musibah yang menimpa istrinya. Dia pun tak menyalahkan siapapun, termasuk Komisi Pemilihan Umum. "Saya anggap ini musibah," kata Agus yang merelakan kandungan sang istri yang berusia dua bulan gugur.
KPU Jawa Barat bahkan mencatat sudah ada 12 anggota KPPS baik yang meninggal maupun sakit. Semuanya dilaporkan kelelahan setelah mencoblos. Ketua KPU Jawa Barat Rifqi Alimubarok mengatakan salah satu faktor pemicu para anggota KPPS ini kewalahan adalah durasi pelaksanaan penghitungan suara yang relatif lama.
“Dari pantauan di lapangan, rata-rata baru selesai jam 5 pagi. Bahkan ada yang berlanjut sampai jam 12 siang. Dan itu tanpa jeda, apalagi kemudian mereka sudah mempersiapkan dulu TPS di H-1, otomatis kelelahan,” kata dia.
Rifqi mengatakan, proses yang memakan waktu lama adalah penghitungan dan penyelesaian administrasi penghitungan suara. Perhitungan suara misalnya rata-rata baru selesai pukul 23.00 WIB, selepas itu harus menyalin hasil penghitungan yang ada di form C1 Plano dalam 6 set formulir, sebagian formulir dibagikan pada saksi partai, DPD, dan pengawas TPS.
“Satu set itu masing-masing untuk lima jenis pemilihan. Misal C1 banyak item, hampir 20-30 lembar, dikali saksi 16 partai, saksi DPD 50, tambah pengawas TPS untuk Bawaslu,” ujarnya.
Baca kelanjutannya: Bagaimana reaksi KPU atas insiden-insiden ini
Ketua Komisi Pemilihan Umum Arief Budiman mengatakan, kejadian tersebut sudah sempat diantisipasi oleh KPU. Salah satunya, KPU sempat menyusun perencanaan anggaran yang berkaitan dengan sistem kerja KPPS. Bahkan, dalam menyeleksi anggota KPPS, pihaknya mencari orang yang secara fisik dan mental betul-betul sehat.
“Ketika kami memilih itu memang mencari orang-orang yang sehat fisiknya, sehat mentalnya. Karena sehat fisiknya saja juga beresiko kalau orang ditekan kanan-kiri gampang down, nggak bisa,” ujar dia.
KPU, kata Arief, sebenarnya pernah mengusulkan adanya anggaran untuk asuransi bagi KPPS. “Sebetulnya sejak awal menyusun anggaran, kami minta ada asuransi. Tapi kan karena berbagai macam, hal itu tidak bisa, maka kami mengusulkan agar bisa diberi santunan,” kata Arief.
Persoalan sumber daya manusia hanya sebagian dari beberapa catatan pelaksanaan Pemilu 2019. Masalah klasik lain yang seharusnya sudah bisa diantisipasi oleh KPU adalah soal distribusi logistik Pemilu dan administrasi pemilih alias Daftar Pemilih Tetap (DPT).
Petugas mengangkat logistik Pemilu 2019 yang akan didistribusikan ke Kepulauan Seribu di Pelabuhan Marina Ancol, Jakarta Utara, Minggu 14 April 2019. Menurut data dari Daftar Pemilih Tetap hasil perbaikan tahap tiga (DPTHP-3) KPU Kepulauan Seribu terdapat 19.013 pemilih tersebar di 70 Tempat Pemungutan Suara (TPS). ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat
Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) menemukan laporan terkait pemungutan suara di sejumlah TPS tidak berjalan dengan mulus. Penyebabnya banyak TPS yang belum menerima logistik Pemilu di hari H pencoblosan. Di samping itu, masih banyak masalah pada administrasi pemilih yang bermasalah.
Komisioner Bawaslu Fritz Edward Siregar mengatakan, atas sejumlah permasalahan tersebut, ada 38 TPS yang berpotensi melakukan pemungutan suara ulang. Selain itu sebanyak 1.395 TPS berpotensi melakukan pemungutan susulan.
“Penyebabnya, pertama, karena ada logistik yang terlambat, logistik kurang atau dari pemilih yang tidak terdaftar di DPT, DPTb bahkan tidak memiliki KTP setempat untuk menggunakan formulir A5,” ujat Fritz saat menggelar konferensi pers di Kantor Bawaslu, Jakarta Pusat, Rabu, 17 April 2019.
Fritz menyebutkan, permasalahan tersebut hampir terjadi di sejumlah daerah di Indonesia. Khusus daerah yang akan melakukan pemungutan susulan disebabkan oleh terlambatnya logistik tiba di TPS. Hal tersebut banyak terjadi di Provinsi Papua.
“Pemilu susulan ada di 1.395 TPS, terdiri dari 367 TPS di distrik Abepura, Jayapura, Papua. Lalu ada 335 di Jayapura Selatan, Kota Jayapura, dan di distrik Kabupaten Intan Jaya ada 288 TPS,” katanya.
Sedangkan, untuk pemungutan suara ulang yang berpotensi terjadi di 38 TPS disebabkan validitas pemilih. Misalnya, pemilih yang tidak terdaftar di TPS sebagai pemilih tetap atau pindahan tetapi tetap diizinkan untuk mencoblos.
“Di Kepulauan Riau ada 11 TPS yang harus dilakukan pemungutan suara ulang, karena ada orang dari daerah lain yang tidak terdaftar di DPT, DPTb, tetapi melakukan pencoblosan. Apabila kita mengacu pada Pasal 372 itu sudah memenuhi syarat untuk pemungutan suara ulang,” katanya.
Membandingkan angka 1.395 dengan seluruh jumlah TPS di Indonesia yang mencapai 809.500 unit memang akan terasa kecil. Namun, kisruh di sebagian kecil TPS ini sama seperti kerikil di dalam sepatu yang bagus dan mahal.
Baca kelanjutannya: Apa saja masukan Perludem untuk Pemilu 2019?
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi ( Perludem), Titi Anggraini, mengatakan KPU memang perlu mengevaluasi sistem Pemilu 2019 atau dikenal dengan Pemilu serentak ini. “Salah satunya adalah soal jadwal pemilu serentak,” kata Titi. Ia mengatakan anggota KPPS memang akan sangat terbebani dengan jadwal yang terlalu padat. Walhasil, bukan hanya kelelahan, tapi juga kemungkinan kesalahan input data bisa terjadi.
Ia menyarankan KPU dan DPR membagi pemilihan menjadi dua. Pertama, pemilihan presiden berbarengan DPR dan DPD. Kemudian di jadwal terpisah adalah DPRD Provinsi dan DPRD Kota atau kabupaten. Dengan pembagian semacam ini, ia yakin distribusi tenaga KPPS akan lebih maksimal. “Sebab jika menambah jumlah anggota KPPS hanya solusi sementara,” kata dia.
Selain itu, KPU perlu memikirkan teknologi yang bisa digunakan oleh KPPS dalam merekap suara. Sehingga, potensi kisruh soal perhitungan suara bisa diminimalisir. Selain itu, penggunaan teknologi juga bisa menghemat tenaga anggota KPPS agar tak mudah kelelahan.
Menurut Titi, selain persoalan sumber daya, Pemilu 2019 ini juga menyisakan perdebatan soal ambang batas parlemen (parliamentary threshold) dan ambang batas presiden (presidential threshold).
Berdasarkan aturan Undang-undang Pemilu, partai politik yang bisa lolos ke parlemen DPR mereka yang memperoleh suara sah di atas empat persen. Merujuk pada hasil hitung cepat beberapa lembaga survei, hanya ada sembilan dari 16 partai yang lolos ambang batas. Mereka adalah PDIP, Gerindra, Golkar, PKB, PPP, PKS, Demokrat, NasDem, dan PAN. Sementara partai kecil seperti PSI, Berkarya, bahkan Hanura tidak lolos.
Titi mengatakan sejak awal Perludem menentang ide ambang batas parlemen empat persen. Alasannya, akan ada suara pemilih yang terbuang sia-sia. “Bayangkan mereka yang sudah memilih partai tertentu tapi tak lolos ke parlemen, artinya suara yang mewakili dia tak ada,” kata Titi.
Perludem, kata Titi, pernah mengusulkan agar ambang batas parlemen hanya satu persen. Sehingga suara masyarakat terwakili. Kubu yang tak setuju dengan angka satu persen ini, menurut Titi, khawatir akan terlalu banyak partai di DPR sehingga presiden akan kesulitan menelurkan kebijakan.
Nah, untuk permasalahan ini, Titi mengatakan Perludem mengusulkan agar ada ambang batas pembentukan fraksi di Parlemen. Sehingga, kata dia, partai-partai itu berhimpun di satu fraksi. “Toh kalau merujuk hasil Pemilu 2019 juga sistem fraksi tidak sederhana, akan ada sembilan fraksi,” kata dia. “Sama saja banyak partai.”
Perludem juga mengkritik ambang batas presiden. Di dalam peraturan sekarang, Presiden hanya bisa dicalonkan oleh partai atau gabungan partai yang memiliki 25 persen kursi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) atau 20 persen suara sah nasional dalam Pemilu Legislatif. Perhitungannya merujuk pada Pemilu sebelumnya.
Titi menuturkan angka 20 atau 25 persen gabungan partai ini sangat menutup peluang ada calon alternatif untuk Pemilu 2024. Alasannya, perolehan suara hanya didominasi oleh partai lama dengan suara besar. “Apalagi rujukannya Pemilu masa lalu, masak kontes Pilpres di 2024 nanti rujukannya apa yang terjadi di Pemilu 2019,” kata dia. “Pasti dimensi dan konteksnya akan sudah berubah.”
SHINTA MAHARANI (YOGYAKARTA) | ROSNIAWANTI (KENDARI) | MUHAMMAD HALWI (JAKARTA) | AHMAD FIKRI (BANDUNG) | IQBAL TAWAKAL (JAKARTA)