Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Arsip

FEATURE: Benteng Terakhir Hutan Dayak Tae  

Suku Dayak di Desa Tae, Sanggau, berjuang agar desanya menjadi desa adat.

21 April 2016 | 23.05 WIB

Ilustrasi - Hutan (Mengapa Kita Butuh Hutan?). dok. KOMUNIKA ONLINE
Perbesar
Ilustrasi - Hutan (Mengapa Kita Butuh Hutan?). dok. KOMUNIKA ONLINE

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo

TEMPO.CO, Jakarta - HUJAN pada pertengahan April ini menyisakan udara lembab pada pagi di Desa Tae, Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat. Hutan masih basah. Jalan setapak licin. Keladi, layang, pakis, dan kantung semar tumbuh rimbun di sepanjang jalan.

Satu pohon durian besar berdiri kokoh di antara pokok-pokok karet dan manggis. Sungkai, bambu betung, aren, dan yang lain tumbuh menyebar. Masyarakat Dayak menyebut hutan ini sebagai "tembawang". “Ini adalah hutan warisan,” kata Tumenggung Anuk, tetua adat Dayak Tae.

Sejak berabad silam, leluhur Dayak membagi hutan untuk anak cucunya. Satu petak untuk satu garis keturunan. Inilah yang disebut tembawang, lahan yang pengelolaannya didasarkan pada aturan adat. Dari tembawang ini kehidupan masyarakat Dayak Tae digantungkan.

Desa Tae kental dengan adat istiadat. Penduduknya suku Dayak. Desa yang terletak di kaki Gunung Tiong Kandang ini adalah satu-satunya desa di Kalimantan Barat yang belum terjamah perusahaan perkebunan.



Tae adalah salah satu dari 31 ribu desa di seluruh Indonesia yang wilayahnya masuk ke dalam kawasan hutan. Sebagian besar lahannya masuk kawasan hutan lindung dan hutan produksi. Dari total luas 2.538,55 hektare, warga desa Tae hanya bisa memanfaatkan 16,54 persen saja, yaitu 419,97 hektare. Saat ini penduduk Tae mencapai 1.398 Jiwa. Artinya, tiap jiwa hanya bisa memanfaatkan 0,3 hektare lahan.

Kondisi ini membuat Tumenggung Anuk resah. Sebab bibit manusia tumbuh setiap hari, sedang bibit tanah tak mungkin tumbuh. Tiap tahun, lahan yang bisa diolah oleh satu orang Dayak Tae makin sempit.

Keresahan itu makin menjalar ketika pada tahun 2013 sebuah perusahaan tambang melakukan survei di Desa Tae. Ini pertanda awal perambahan hutan. Walau hingga kini belum ada tindak lanjut dari survei tersebut, warga dibayangi rasa was-was. “Pemerintah sering tak adil,” kata Tumenggung Anuk.

Ia menyebut investor diizinkan untuk memanfaatkan lahan dengan berbagai cara. Tak peduli pada masyarakat yang hidup di sekitarnya. Di sisi lain, pemerintah tutup mata terhadap keadaan penduduknya.

***


HUTAN adalah sumber kehidupan. Dari hutan, masyarakat Dayak Tae hidup.

Suku Dayak memiliki hukum tak tertulis dalam memperlakukan hutan mereka. “Tak ada yang boleh menebang pohon di tembawang,” ujar Tumenggung Anuk. Masyarakat Dayak percaya bahwa menebang pohon di hutan adat akan merusak keseimbangan alam. Kematian di tembawang dibiarkan sesuai kehendak alam. Jika ada pohon yang mati, barulah mereka boleh mengganti dengan tanaman lain. Jika ketahuan menebang pohon, hukumannya adalah dikeluarkan sebagai ahli waris.

Ada empat kampung yang masuk di wilayah Tae, yaitu Bangkan, Padakng, Peragong, Mak Ijing, Maet, Semangkar, Teradak, dan Tae. Masing-masing kampung punya 5-10 tembawang. Luasnya berhektar-hektar. Tapi tak ada yang tahu berapa tepatnya--dan memang tak boleh ada yang tahu. Tumenggung Anuk mengatakan, “Biar tidak dijual.”

Mereka hanya boleh menjual hasil hutan pada tengkulak yang datang ke desa. “Tapi tak banyak, sebagian kami gunakan sendiri,” kata Kepala Desa Tae Melkianus Midi.

Tumenggung Anuk mengajarkan bahwa manusia hanya sebatas "meminjam" dari bumi. Sebab itu, manusia tak boleh serakah dalam memanfaatkan sumber daya alam. Petuah inilah yang mengakar dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Dayak. Bahwa alam, “Adalah pinjaman dari Sang Pencipta.”



Terbitnya Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 32 Tahun 2015 tentang Hutan Hak membawa harapan bagi suku-suku yang tinggal di desa, khususnya suku Dayak Tae. Beleid ini menyatakan bahwa hutan adat kini bukan lagi bagian dari hutan negara dan bisa dikelola oleh masyarakat adat setempat.

Meski demikian, peruntukkan itu bukan tanpa syarat. Ada yang harus diperjuangkan agar suku Dayak Tae bisa mencicipi potensi alam yang sudah dihuni sejak turun-temurun itu tanpa khawatir akan bersengketa dengan pemerintah.

Pertama, desa tempat tinggal mereka harus ditetapkan secara sah oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan sebagai desa adat. Selanjutnya, masyarakat hukum adat yang sudah disahkan berhak memberikan permohonan kepada Menteri untuk mengajukan penetapan kawasan hutan.

Setelah diterbitkan Surat Keputusan dari Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, maka status hutan yang semula hutan lindung berubah menjadi hutan adat yang bisa dikelola oleh masyarakat.

Perjuangan itu kini sedang berlangsung. Dalam mengajukan permohonan penetapan kawasan hutan, masyarakat wajib melampirkan peta spasial dan sosial. Selain letak geografis, peta itu juga memuat asal muasal sebuah kampung berdiri.

Maka pada 2011, warga desa Tae mulai melakukan pemetaan partisipatif. Hal ini merupakan upaya melepaskan status hutan mereka dari kawasan hutan negara. Peta partisipatif merupakan peta yang harus dilampirkan dalam permohonan pengesahan Desa Tae sebagai desa adat.

Pada tahun 2013, peta partisipatif Desa Tae disahkan oleh Bupati Sanggau. Kini suku Dayak di Tae tinggal menunggu agar desa mereka diakui sebagai desa adat. "Masyarakat Desa Tae menanti kedaulatan atas kampung mereka sejak lama,” kata Matheus Pilin, Direktur Perkumpulan Pancur Kasih, yang membantu warga melakukan pemetaan partisipatif.



Penantian itu tak secepat yang diharapkan. Hingga hari ini, Desa Tae belum disahkan menjadi desa adat. Proses pengesahan desa adat ini macet di pemerintah daerah. “Mandat konstitusi agar diterbitkan perda oleh eksekutif dan legislatif hingga hari ini masih berliku-liku,” ujar Pilin.

Di sisi lain, modernitas menyelusup dengan cepat ke dalam kehidupan muda-mudi suku Dayak. Para tetua adat khawatir tak ada lagi anak cucu yang peduli dengan hukum adat dan kearifan lokal.

Perlahan, pengetahuan tentang adat akan lenyap bersama wafatnya para tetua. Jika suku adat punah, pengelolaan hutan akan kembali kepada pemerintah. Dengan demikian, hutan juga lenyap--begitu yang dipercaya suku Dayak di Desa tae.

MAYA AYU PUSPITASARI

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Anton Septian

Anton Septian

Menjadi wartawan Tempo sejak 2007. Saat ini Redaktur Eksekutif Tempo. Sebelumnya Redaktur Eksekutif Tempo.co dan Redaktur Eksekutif majalah Tempo. Banyak meliput isu politik dan hukum serta terlibat dalam sejumlah proyek investigasi. Asia Journalism Fellowship 2023.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus