Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Pemerintah bakal melibatkan lembaga internasional dalam melacak aset-aset orang Indonesia yang berada di luar negeri. Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Muhammad Yusuf mengatakan sudah berkoordinasi dengan badan intelijen keuangan internasional yang tergabung dalam The Egmont Group Financial Intelligence Unit, terutama untuk melacak aset di negara suaka pajak (tax haven).
Yusuf mengklaim ada kesamaan data yang dimiliki PPATK dengan Panama Papers atau daftar orang yang memiliki aset berupa perusahaan cangkang di negara tax haven. "Ada pejabat publik, profesional, dan badan hukum," kata dia saat ditemui di Gedung Dewan Perwakilan Rakyat, Selasa 26 April 2016.
Temuan itu, kata Yusuf, masih harus ditelisik lantaran belum diketahui motif pendirian perusahaan cangkang atau membawa aset ke negara bebas pajak. "Apakah digunakan untuk mengemplang pajak atau tidak, ini harus dibuktikan," ujarnya.
Namun Yusuf mengakui bahwa penarikan aset tersebut tidak mudah. Jika mengacu pada Undang-Undang Perpajakan, kata dia, butuh waktu enam bulan untuk membuktikan satu kasus. Karena itu, dia menilai pemberlakuan Undang-Undang Pengampunan Pajak atau Tax Amnesty dapat mempercepat penarikan dana tersebut. "Tapi jangan sampai kebijakan ini mengabaikan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang."
Sebelumnya, Gubernur Bank Indonesia Agus Martowardojo memperkirakan nilai dana milik warga negara Indonesia di luar negeri mencapai Rp 3.147 triliun. Dari seluruh dana tersebut, 40 persen di antaranya berasal dari hasil kegiatan ilegal.
Sekitar 30 persen, kata Agus, adalah hasil penjualan narkotik, pendanaan teroris, dan pencucian uang. Adapun 10 persen sisanya adalah uang hasil korupsi. "Yang bisa ditarik dari Tax Amnesty hanya 60 persen," kata Agus, yang memperkirakan dana repatriasi mencapai Rp 560 triliun dan mendatangkan pajak Rp 47,5 triliun.
Dalam rapat dengar pendapat bersama Komisi Keuangan DPR, Inspektur Pengawasan Umum Kepolisian RI Komisaris Jenderal Dwi Priyatno mengingatkan bahwa Rancangan UU Tax Amnesty bisa bentrok dengan Undang-Undang Pencucian Uang maupun beleid perpajakan. Dia merujuk pada pasal 22 ayat 2 dan 3, yang melarang pembagian informasi dari wajib pajak yang meminta pengampunan. Aturan ini dinilai mempersulit upaya pelacakan aset di luar negeri. "Perlu ada mekanisme untuk mencegah pemufakatan jahat dan penyalahgunaan wewenang," katanya.
Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Alexander Marwata juga mengatakan RUU Tax Amnesty jangan menjadi sarana pengampunan atau pemutihan aset koruptor. Alex mengingatkan bahwa, dari seluruh dana yang terparkir di luar negeri, sekitar 10 persen berasal dari hasil korupsi. "Apakah ini akan diampuni?"
DEVY ERNIS | INGE KLARA | GHOIDA RAHMAH | FERY F
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini