Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Bengkulu - Kepala Kepolisian Daerah Bengkulu Brigadir Jenderal M. Ghufron membantah kabar bahwa anak buahnya menggunakan peluru tajam saat mengamankan konflik warga dengan perusahaan pertambangan batu bara PT Cipta Buana Seraya di Kecamatan Merigi Kelindang, Kabupaten Bengkulu Tengah, Provinsi Bengkulu, Sabtu, 11 Juni 2016.
Menurut Ghufron, aparatnya yang bertugas saat itu melakukan pengamanan sesuai dengan standar operasional yang berlaku. Khususnya dalam penanganan unjuk rasa. “Kami hanya menggunakan peluru karet dan gas air mata,” katanya, Minggu, 12 Juni 2016.
Ghufron juga mengemukakan alasannya, saat terjadi konflik, aparat yang dikerahkan hanya berusaha menahan dan menghalau warga yang memaksa masuk ke kantor perusahaan PT Cipta Buana Seraya (PT CBS).
Sebelumnya, Bupati Bengkulu Tengah Fery Ramli memutuskan menutup pertambangan milik PT CBS pasca-kerusuhan yang berakhir bentrokan, yang mengakibatkan 4 warga tertembak. "Agar tidak kembali terjadi polemik antara warga dan pihak perusahaan serta menghindari adanya korban lagi,” ujarnya saat meninjau lokasi rumah korban penembakan, Sabtu malam, 11 Juni 2016.
Fery mengatakan, keputusannya didasari hasil rapat bersama antara pemerintah daerah, pihak perusahaan, dan kepolisian. Hasil rapat juga memutuskan pemerintah daerah menjamin semua biaya pengobatan bagi korban yang tertembak, termasuk yang harus dioperasi.
Unjuk rasa menolak tambang batu bara itu dilakukan sekitar 500 warga dari 12 desa di Kabupaten Bengkulu Tengah, Sabtu, 11 Juni 2016, sekitar pukul 10.00 WIB. Menurut salah seorang warga, Alimuan, 65 tahun, semula warga mendatangi lokasi PT CBS karena ada informasi kedatangan pejabat dari Pemerintah Kabupaten Bengkulu Tengah yang akan memutuskan pertambangan ditutup atau tidak.
Namun di lokasi sudah banyak polisi, anggota Brimob, dan tentara yang berjaga-jaga. Jumlahnya lebih dari 500 orang. Mereka bersenjata lengkap. Pasukan Brimob berada di barisan paling depan, di dekat pagar. Mereka menggunakan senjata dengan peluru karet dan gas air mata. Selain itu, ada aparat di barisan kedua, dekat tebing. “Saya tidak begitu tahu apa yang terjadi di bagian depan, tiba-tiba chaos,” ucap Alimuan, yang saat itu berada di barisan tengah warga.
Nurdin, yang bertindak sebagai koordinator lapangan unjuk rasa, tidak mampu membendung kemarahan warga. Aksi menjadi tidak terkendali. Warga memaksa masuk ke lokasi pertambangan, tapi dihadang aparat yang menembakkan gas air mata dan tembakan dengan peluru ke arah warga.
Terjadi penembakan. Korban dari pihak warga berjatuhan, termasuk Alimuan. Korban lain adalah Marta Dinata, 20 tahu, warga Desa Kembring, yang terkena tembakan yang menembus bagian perut; Yudi (28), warga Desa Kembring, juga tertembak di bagian perut; serta Badrin (45), warga Desa Durian Lebar, yang tertembak di bagian leher dan paha. Adapun Alimuan, warga Desa Durian Lebar, tertembak di tangan. Sedangkan dua polisi cedera terkena bacokan senjata tajam.
Warga yang tertembak dilarikan ke rumah sakit di Kabupaten Rejang Lebong, Rumah Sakit M. Yunus, di Kota Bengkulu dan Rumah Sakit Umum Daerah Kota Curup. Begitu pula polisi yang mengalami luka bacok. Namun, diperoleh informasi, masih ada dua warga yang juga terluka belum dibawa ke rumah sakit. Dalam peristiwa itu, sebuah sepeda motor dibakar.
Alimuan menjelaskan, unjuk rasa dilakukan karena sikap penolakan terhadap tambang itu tidak pernah mendapat tanggapan dari Pemerintah Kabupaten Bengkulu Tengah. Hal yang sama dijelaskan Kasrawati, 36 tahun, warga Desa Susup. Menurut dia, unjuk rasa itu merupakan bentuk kemarahan warga atas ketidakjelasan dan ketidakberpihakan pemerintah kepada warga. "Pagi itu masyarakat dijanjikan akan ada pejabat yang mau datang. Ternyata sudah banyak aparat keamanan di lokasi," tuturnya.
Sebelumnya, koordinator Forum Anak Rejang Gunung Bungkuk, Nurdin, dipanggil untuk menghadap ke kantor Pemerintah Kabupaten Bengkulu Tengah. Diperoleh informasi bahwa Bupati Fery Ramli akan datang ke lokasi pada Sabtu, 11 Juni 2016. Bupati akan memutuskan apakah tambang dilanjutkan atau tidak. Namun konflik sudah terjadi.
Kasrawati menjelaskan, dalam pertemuan di Badan Lingkungan Hidup (BLH) Provinsi Bengkulu, 15 Januari 2016, warga sudah menyampaikan penolakannya terhadap tambang baru bara itu. Saat itu memang ada tiga kepala desa yang setuju. Tapi desa mereka jauh dari lokasi pertambangan.
Pada 6 Mei 2016, petugas BLH Provinsi Bengkulu mendatangi lokasi. Ditemukan banyak lubang bekas tambang yang tidak direklamasi. Lubang itu sudah menelan jiwa seorang anak. Saat itu, BLH berjanji akan memberikan keputusan apakah tambang tetap beroperasi atau tidak. Tenggatnya 4 Juni 2016.
Pada 7 Mei 2016, sekitar 1.300 warga melakukan aksi dengan memasang bendera pada tombak yang ditancapkan di lokasi pertambangan. Ada pula plakat yang bertulisan “Masyarakat Menolak Sistem Underground”. Warga juga mendesak agar pemerintah mencabut izin tambang.
Tenggat yang dijanjikan BLH Provinsi Bengkulu, yakni 4 Juni 2016, tidak berkabar dari pemerintah. Keesokan harinya, warga justru mendapat informasi bahwa pertambangan tetap dilanjutkan. Warga merasa tidak mendapat perlindungan dari pemerintah.
Kasrawati mengatakan warga merasa ditipu karena pemerintah tidak menepati janji. Pada 10 Juni 2016, Nurdin dipanggil pihak kepolisian sekaligus mengantarkan surat pemberitahuan unjuk rasa yang akan dilakukan warga pada 11 Juni 2016. Polisi meminta Nurdin menahan aksi hingga minggu depan. Tapi Nurdin tidak dapat mengambil keputusan. Terjadilah aksi pada 11 Juni 2016. “Tidak ada pejabat yang datang. Yang ada malah aparat kepolisian dan tentara.”
PHESI ESTER JULIKAWATI
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini