Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Bandung - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencabut izin usaha Bank Perkreditan Rakyat ( BPR ) Sinarenam Permai Jatiasih (SPJ), pada Kamis, 8 November 2018. Bank yang berkantor di Komplek Grand Bekasi Centre Blok A Nomor 15, Jalan Cut Meutia, Kabupaten Bekasi, itu dinilai terpuruk karena kondisi keuangan yang semakin memburuk sejak setahun terakhir.
Baca: Banyak BPR Tutup Karena Kredit Macet
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Berdasarkan keputusan anggota Dewan Komisioner, BPR Sinarenam telah dicabut izin usahanya,” kata Direktur Pengawasan Lembaga Jasa Keuangan 1 Kantor Regional 2 Jawa Barat OJK, Riza Aulia, di Bandung.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Riza mengatakan, BPR SPJ sudah mendapat status pengawasan intensif sejak 11 Desember 2017. Status itu meningkat menjadi pengawasan khusus pada 25 Juli 2018 karena Kewajiban Penyediaan Modal Minimum (KPMM) anjlok hingga minus 3,9 persen.
OJK telah memerintahkan pemegang saham pengendali untuk menambah modal usaha. Bahkan OJK memberi kesempatan kepada BPR SPJ mendapat investor baru. Langkah itu ternyata tak membuat kondisi BPR SPJ membaik.
Dengan kondisi itu akhirnya OJK menetapkan BPR SPJ dalam status tidak dapat disehatkan pada 25 September 2018. Selanjutnya bank tersebut diserahkan penanganannya kepada Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).
Pada 5 November 2018, LPS merekomendasikan OJK untuk menutup BPR SPJ. “Pencabutan izin usaha ditetapkan lewat Keputusan Anggota Dewan Komisioner lewat surat nomor KEP-186/D.03/2018 tanggal 8 November 2018,” kata Riza.
BPR SPJ per September 2018 tercatat memiliki nasabah sebanyak 410 rekening tabungan dan 41 deposito. Debitur bank tersebut berjumlah 343 debitur. Dana pihak ketiga terakhir tercatat Rp 11,162 miliar, sementara posisi kredit Rp 12,429 miliar. “Asetnya sekarang Rp 6 miliar, karena modalnya minus Rp 6 miliar,” kata Riza.
Riza mengatakan, BPR SPJ selama ini mengandalkan kredit konsumtif yang jumlahnya menembus 80 persen. “NPL (non performing loan) terakhir 88 persen,” kata dia.
Deputi Direktur Pengawasan Lembaga Jasa Keuangan 2 Kantor Regional 2 Jawa Barat OJK, Asep Tedi mengatakan, ada dua penyebab yang memicu kinerja keuangan BPR SPJ memburuk. “Kreditnya terkonsentrasi pada sektor konsumtif berupa kredit kolektif karyawan beberapa perusahaan. Dalam perkembangannya kredit kolektif ini bermasalah karena ada beberapa perusahaan yang tutup, bangkrut, sehingga banyak PHK. Itu penyebab utama dari sisi eksternal,” kata dia..
Asep mengatakan, BPR SPJ juga lemah dalam analisa pemberian kreditnya. “BPR ini hanya berdasarkan referensi perusahaan. Analisa kreditnya kurang memadai,” kata dia.