Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Penyintas Covid-19, Jeane Rachel Esra, melakukan isolasi mandiri di dalam tenda.
Isolasi mandiri berlangsung di tengah ancaman gempa di Mamuju, Sulawesi Barat.
Tenda menjadi pilihan satu-satunya saat rumah sakit penuh.
Di dalam tenda kecil yang hanya mampu diisi satu orang dewasa, Jeane Rachel Esra menyepi. Wanita berusia 38 tahun itu mendirikan tenda di depan rumah dinas dokter Rumah Sakit Umum Daerah Sulawesi Barat, di Kecamatan Mamuju, Kabupaten Mamuju, Sulawesi Barat, untuk menjalani isolasi mandiri setelah dinyatakan tertular Covid-19 pada 5 Februari lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jeane, yang bekerja sebagai dokter spesialis penyakit jiwa, memilih menjalani isolasi mandiri di dalam tenda karena ruang isolasi pasien Covid-19 di RSUD Sulawesi Barat sudah penuh. Kondisi kian runyam setelah Kabupaten Mamuju dan Majene diguncang gempa hebat dengan magnitudo 6,2 pada 15 Januari lalu. Gempa itu membuat ratusan rumah di Mamuju roboh dan seratusan orang meninggal. Sebagian dari mereka pun terpaksa dirawat di RSUD Mamuju.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Walhasil, Jeane terpaksa memanfaatkan tenda individu, bantuan dari Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI). "Di sini saya melakukan isolasi mandiri,” kata dia, kemarin.
Tak jauh dari tenda mungil Jeane, ada satu tenda besar yang dihuni tiga rekannya, sesama dokter. Mereka juga memilih tidur di dalam tenda di depan rumah karena takut terjadi gempa susulan. Sebagian besar warga Mamuju juga memilih menginap di tenda pengungsian dengan alasan serupa. Mereka hanya masuk rumah saat ke kamar mandi.
Selama tinggal di tenda, Jeane hanya bisa berbaring. Dia tidak banyak melakukan aktivitas lain karena listrik sering padam setelah gempa. Sudah sepuluh hari dia menghuni tenda itu. Setiap hari, perempuan kelahiran Parepare, Sulawesi Selatan, 6 Juli 1982, itu merasa kepanasan. Saat malam hari, ia mengaku kondisi di dalam tenda jauh lebih nyaman.
Dokter spesialis kejiwaan, Jeane, di Poliklinik Jiwa darurat pasca-gempa bumi di Mamuju, Sulawesi Barat, 5 Februari lalu. Dok. Pribadi
Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, Jeane mendapat pasokan makanan dari rumah sakit ataupun Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Ia juga mengkonsumsi vitamin serta obat antivirus, antibiotik, dan antiradang.
Jeane menduga dirinya tertular virus corona dari pasien rumah sakit. Dia memang ditugasi menangani pasien Covid-19 yang mengalami gangguan psikologis, sejak September 2020. Menurut Jeane, setelah gempa Mamuju pada pertengahan Januari lalu, ia dan koleganya sempat mengungsi ke atas bukit. Saat itu, Jeane tinggal sendiri di rumah dinasnya. Keluarganya tengah berada di Parepare. "Suami sedang ada tugas di Jakarta, sedangkan anak saya ada di Parepare," kata Jeane.
Pada saat mengungsi itulah ia mendapat kabar RSUD Sulawesi Barat penuh dengan korban gempa. Mereka bergegas turun bukit dan menyambangi rumah sakit. Hari itu juga Jeane kembali berjaga di ruang instalasi gawat darurat. Ia bertugas seperti biasa, seperti mengunjungi pasien Covid-19 yang butuh bantuan psikologis hingga di ruang isolasi.
Jeane dan tenaga kesehatan lainnya di RSUD Sulawesi Barat mulai kekurangan baju pelindung diri alias baju hazmat. Mereka pun terpaksa berhemat karena khawatir kehabisan baju hazmat di masa darurat. Mereka memutuskan hanya memakai satu set pakaian pelindung diri dalam satu hari. Padahal, sesuai dengan protokol penanganan Covid-19, dokter harus sering mengganti baju pelindung ketika berpindah dari ruangan zona merah ke zona hijau. "Kami juga harus membersihkan badan, mandi, dan lainnya," katanya.
Karena penghematan itu, Jeane dan koleganya tetap memakai baju hazmat ketika beristirahat untuk makan siang dan malam. Mereka hanya membuka masker dan melepas sarung tangan. “Lalu cuci tangan dan makan. Selesai makan, kami pakai lagi masker dan sarung tangan," ujar Jeane.
Setengah bulan setelah gempa, Jeane merasakan sakit di tenggorokan. Sakit itu sesungguhnya tak digubris secara serius oleh Jeane. Namun ia berinisiatif melakukan tes Covid-19 setelah keluarganya hendak pulang ke Mamuju. Mula-mula ia melakukan tes cepat antigen. Hasilnya, ia dinyatakan negatif corona.
Karena belum yakin, ia mengikuti tes usap berbasis PCR saat mobil laboratorium PCR dari Makassar datang ke Mamuju pada 4 Februari lalu. Berselang sehari, hasil tes usap itu keluar. Jeane dinyatakan positif tertular Covid-19.
Saat terjangkit virus, kolega Jeane menyarankan agar ia bersedia dirawat di Makassar. Apalagi Jeane memilih melakukan isolasi mandiri di dalam tenda. Langkah Jeane itu dianggap tak wajar. Terlebih lagi, sudah ada 18 dokter di RSUD Sulawesi Barat yang positif corona. Lalu sebagian dari mereka dirujuk ke Makassar karena mengalami gejala cukup serius. "Kata mereka, jangan menunggu kondisi saya parah baru dibawa ke Makassar. Tapi saya yakin bisa melakukan isolasi mandiri," kata Jeane.
Selama tertular virus, Jeane hanya mengalami gejala nyeri tenggorokan selama tiga hari. Setelah itu, kondisinya semakin membaik. Pada hari keenam sejak terkonfirmasi positif, Jeane berinisiatif melakukan pengetesan kedua. Empat hari kemudian, hasil tes usap itu keluar. Ia dinyatakan terbebas dari Covid-19. Tapi Jeane disarankan tetap menuntaskan masa isolasi mandiri selama 14 hari.
Pada hari kesepuluh, ia memutuskan beristirahat di dalam rumah. Karena keluarganya sudah datang, Jeane tetap menjaga jarak fisik dengan mereka dan memakai masker. Setelah menuntaskan masa karantina selama 14 hari, Jeane memutuskan kembali bertugas di RSUD Sulawesi Barat. "Hingga hari ini saya masih bertugas di rumah sakit karantina," kata Jeane.
INDRA WIJAYA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo