Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Catatan Akhir Tahun 2021 Lembaga Bantuan Hukum Jakarta atau LBH Jakarta menunjukkan masalah-masalah terkait perkotaan dan masyarakat urban jadi aduan terbanyak yang diterimanya sepanjang 2021.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Dari total 928 aduan yang diterima oleh LBH Jakarta, dari 3.239 pelapor pada 2021, 353 di antaranya merupakan kasus-kasus terkait isu perkotaan dan masyarakat urban dengan 2.810 pelapor/pencari keadilan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
"Tahun ini paling banyak berkenaan dengan (kasus) perkotaan masyarakat urban, disusul kasus perburuhan, dan kasus (hak) sipil dan politik," kata Direktur LBH Jakarta Arif Maulana saat memaparkan Catatan akhir tahun LBH Jakarta 2021 di Jakarta, Jumat, 17 Desember 2021.
Kasus-kasus terkait perkotaan dan masyarakat urban di antaranya aduan terhadap pelayanan publik, hak atas tanah dan tempat tinggal, hak atas kesehatan, hak atas lingkungan, hak atas identitas, hak pendidikan, hak atas usaha/ekonomi, dan penanggulangan bencana.
Arif menyebut untuk kategori perkotaan dan masyarakat urban, aduan terhadap pelayanan publik menempati urutan teratas dengan 262 kasus, disusul oleh hak atas tanah dan tempat tinggal sebanyak 45 kasus.
Terkait isu perkotaan dan masyarakat urban, Arif menyoroti masalah pengelolaan rumah susun yang cukup banyak diadukan masyarakat ke LBH Jakarta.
"Rumah susun banyak mengandung kelemahan, di antaranya bagaimana orang membeli, tetapi gagal dibangun, atau ketika sudah membeli, pengelolaan didominasi, dimonopoli oleh pengembang," papar Arif.
Akibatnya, ia menjelaskan hak-hak dasar seperti air, listrik, dan layanan kebersihan pun dimonopoli oleh pengembang serta pengelolaan rumah susun.
"Biaya hidup (di rumah susun) seperti bukan milik sendiri, tetapi seperti sewa. Ini problem di wilayah Jakarta dan sekitarnya. Kami menangani beberapa kasus (terkait itu) tahun ini," kata Direktur LBH Jakarta.
Tidak hanya itu, LBH Jakarta juga menyoroti kasus pinjaman online (pinjol) yang banyak menjerat kelompok masyarakat menengah bawah dan masyarakat miskin kota.
"Kasus pinjaman online tidak hanya menimbulkan korban tindak pidana karena penagihan yang tidak manusiawi, tetapi juga sampai terjadi pelecehan seksual, ancaman terhadap data pribadi, ancaman keamanan bahkan nyawa," kata Arif Maulana.
Hasil riset LBH Jakarta menunjukkan berbagai macam problem terkait pinjol muncul karena regulasi yang mengatur pinjaman online kurang memadai.
Menurutnya, regulasi yang ada saat ini belum memberi perlindungan bagi para peminjam atau pemakai layanan jasa keuangan nonbank, yang seharusnya diatur oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
"Itu sebabnya pada 12 November yang lalu, LBH Jakarta mengajukan gugatan terhadap pinjol," tutur Arif.
LBH Jakarta sepanjang 2021 menerima 278 aduan terkait pinjaman online, tetapi jika diperluas sampai seluruh wilayah Indonesia, kasus terkait pinjol mencapai ribuan.
ANTARA