Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta -Ombudsman RI Perwakilan Jakarta Raya mencium dugaan adanya maladministrasi dalam pemberian rekomendasi penyelenggaraan Formula E di kawasan Monumen Nasional atau Monas, oleh Tim Sidang Pemugaran.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ketua Ombudasman DKI Teguh Nugroho mengatakan dugaan maladministrasi tersebut dapat dilihat dari rekomendasi yang dikeluarkan Tim Sidang Pemugaran pada 27 Januari 2020, tapi dikutip secara backdate oleh Dinas Kebudayaan Provinsi DKI Jakarta saat mengajukan persetujuan kepada Komisi Pengarah Kawasan Medan Merdeka bertarikh 20 Januari 2020.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Merunut dari surat persetujuan yang disampaikan oleh Komisi Pengarah Kawasan Medan Merdeka kepada Pemprov DKI Jakarta, Ombudsman RI Perwakilan Jakarta Raya menduga telah terjadi maladministrasi dalam proses penerbitannya.
"Persetujuan tersebut didasarkan pada rekomendasi yang secara formil sudah salah" kata Teguh melalui keterangan tertulisnya, Jumat, 28 Februari 2020.
Menurut dia, data memperkuat adanya dugaan maladministrasi dalam keluarnya persetujuan Komisi Pengarah kepada Pemprov DKI untuk menyelenggarakan Formula D mematuhi ketentuan ketentuan di dalam Undang-udang Tentang Cagar Budaya. Padahal, dua hari sebelumnya sempat melarang.
Menurut Teguh, Komisi Pengarah seharusnya tidak mensyaratkan itu di dalam persetujuan. Komisi Pengarah semestinyanya mengujian usulan Pemprov DKI, yang ingin menggunakan kawasan Monas sebagai lokasi trek-trekan mobil balap listrik itu.
"Harusnya diuji pakah sudah sesuai atau tidak dengan Undang-Undang tersebut. Minimal ada bukti bahwa mereka memiliki kajian terhadap lingkungan dari pemanfaatan cagar budaya tersebut" ujarnya.
Ombudsman DKI meminta menghentikan sementara merevitalisasi dan pembangunan fasilitas formula E sampai seluruh syarat formil dan materil dalam UU 11/2010 Tentang Cagar Budaya selesai.
"Khususnya pasal tentang revitalisasi dan pemanfaatan yang akan menimbulkan dampak kerusakan pada kawasan," ucapnya.
Menurut Teguh, lersetuiuan yang maladministrasi bisa berdampak pada gugurnya keabsahan persetujuan tersebut. Segala tindakan perubahan terhadap kawasan cagar budaya dengan persetujuan yang cacat dapat menjadi bukti telah terjadi pengrusakan terhadap Kawasan Cagar Budaya. "Itu merupakan tindak pidana" ujarnya.Gambaran sirkuit Formula E di kawasan Monumen Nasional ditampilkan saat media briefing oleh PT Jakarta Propertindo di Hotel Novotel, Jakarta Pusat pada Jumat, 14 Januari 2020. Tempo/M Yusuf Manurung
Ketentuan Pidana tersebut termaktub dalam Pasal 105: Setiap orang yang dengan sengaja merusak Cagar Budaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat 1 dipidana dengan pidana penjara paling singkat satu tahun dan paling lama 15 (tahun dan/atau denda paling sedikit Rp 500 juta dan paling banyak Rp5 miliar.
Sementara jika pelakunya pejabat yang berwenang, dalam Pasal 114 menyatakan: jika pejabat karena melakukan perbuatan pidana melanggar suatu kewajiban khusus dari jabatannya, atau pada waktu melakukan perbuatan pidana memakai kekuasaan, kesempatan, atau sarana yang diberikan kepadanya karena jabatannya terkait dengan Pelestarian Cagar Budaya, pidananya dapat ditambah 1/3 (sepertiga).
Untuk itu Teguh menyayangkan sikap JakPro dan pemprov DKI Jakarta yang telah melakukan ujicoba aspal di Kawasan Cagar Budaya Monas sebagai persiapan Formula E.
Menurutnya lebih penting masing masing pihak duduk bersama melihat seluruh proses persetujuan tersebut telah sesuai dengan UU 11/2020 Tentang Cagar Budaya khususnya kewajiban melakukan kajian sebelum pelaksaanan proses revitalisasi dan pemanfaatan Kawasan cagar budaya Monas.
"Melakukan ujicoba aspal (buat Formula E) di Cagar Budaya Lapangan Monas bobotnya sama dengan mencoba memberikan semen baru kepada patung diorama di dalam monumen nasional untuk kemudian mengupasnya lagi ketika pemanfaatnya selesai, karena dua duanya merupakan cagar budaya yang dilindungi oleh Undang Undang" ujar Teguh.