Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Anak-anak kerap menjadi korban akibat masalah perekonomian keluarga maupun karena kekerasan dalam rumah tangga atau KDRT antara orang tua. Dalam tiga bulan terakhir tercatat kasus kekerasan yang menyebabkan anak di dalam keluarga itu turun menjadi korban.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Deretan kasus yang membuat anak-anak jadi korban adalah kasus kematian bapak-Anak di Koja, Jakarta Utara, kasus pembunuhan 4 anak di Jagakarsa, Jakarta Selatan, kasus balita tewas setelah dianiaya selama satu bulan oleh pacar tantenya di Kramat Jati, Jakarta Timur. Hingga yang terbaru kasus anak bernama Awan yang meninggal karena dibanting ayahnya sendiri di Penjaringan, Jakarta Utara. Semua kasus itu terjadi dalam rentang Oktober hingga pertengahan Desember 2023.
Orang tua tak punya resiliensi, anak menjadi korban
Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Diyah Puspitarini mengatakan kasus kekerasan pada anak justru kerap kali dilakukan oleh orang terdekat si anak tersebut. Menurut dia, penyebabnya karena faktor pengasuhan. Bagi Diyah, pengasuhan ini sudah mencakup banyak hal. Misalnya seperti faktor ekonomi, tingkat pendidikan, sosial, budaya, lingkungan, dan pengetahuan orang tua yang berkenaan dengan ilmu parenting.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Tapi yang parenting itu sebenarnya dari dulu pun juga tidak ada ilmunya," kata Diyah kepada Tempo, Jumat, 22 Desember 2023. Ia mengatakan, bahwa semestinya ada insting kedewasaan dan resiliensi yang harus dimiliki oleh orang tua. Sebab, kedewasaan dan resiliensi itu bisa memengaruhi sikap orang tua ketika menghadapi sebuah kondisi yang tertekan.
Resiliensi adalah kemampuan untuk beradaptasi dan tetap teguh dalam situasi sulit, atau tangguh untuk melawan, menyerap, mengakomodasi, beradaptasi, mengubah, dan pulih dari efek bahaya atau ancaman.
"Kejadian (kekerasan pada anak) ini bisa terjadi karena orang tua tidak bisa menjaga resiliensi, atau jiwa kelentingannya ketika menghadapi situasi, baik yang disebabkan karena ekonomi maupun faktor emosional," ucapnya.
Kekerasan dipicu dominasi ayah dan budaya patriarki
Merujuk catatan Pusat Data dan Informasi KPAI yang dirilis pada Oktober 2023, KPAI mencatat total kasus kekerasan terhadap anak adalah sebanyak 1.478 kasus. Dengan rincian kasus terbanyak adalah anak korban kejahatan seksual sebanyak 615 kasus, anak korban kekerasan fisik/psikis sebanyak 303 kasus, anak berkonflik hukum sebanyak 126 kasus, anak korban eksploitasi ekonomi/seksual sebanyak 55 kasus, dan anak korban eksploitasi ekonomi/seksual sebanyak 55 kasus.
Diyah membenarkan jika kekerasan pada anak sebagai korban ini paling banyak dilakukan oleh ayah kandung. Hal itu didukung dengan laporan yang masuk ke KPAI soal kekerasan dalam rumah tangga yang menjadikan anak sebagai korban. Laporan terbaru adalah tiga kasus yang terjadi di Jawa Timur, pembunuhan 4 anak di Jagakarsa, dan ayah banting anak kandungnya hingga tewas di Penjaringan.
Selanjutnya, bukan gejala ayahsentris
Namun, ia mengatakan bahwa fenomena ini tidak dapat disebut dengan ayah-sentris. "Tidak juga, karena ada faktor ibu. Ini lebih ke budaya di dalam keluarga itu, karena tiap keluargakan budayanya berbeda-beda," kata Diyah. Menyoal kasus pembunuhan 4 anak di Jagakarsa dan ayah banting anaknya hingga tewas di Penjaringan, ia menyebut ada faktor dominasi ayah dan budaya patriarki yang kental.
"Darurat kekerasan anak itu terjadi tidak hanya ketika KPAI menyampaikan di awal tahun, tetapi hingga hari ini kekerasan pada anak itu tidak hanya jumlahnya semakin banyak, tetapi tingkat kebrutalan terhadap korban anak ini semakin mengkhawatirkan," ucapnya.
Pencegahan kekerasan pada anak merupakan upaya kolektif
Diyah mengatakan bahwa pencegahan kekerasan pada anak tidak serta-merta menjadi tanggung jawab dan kewajiban lingkungan keluarga saja. Lebih dari itu, menurut dia harus ada upaya kolektif dari masyarakat secara luas untuk menyetop kasus kekerasan yang menjadikan anak sebagai korban.
"Kasus di Penjaringan dan Jagakarsa itu saya kira menjadi evaluasi besar di akhir tahun. Dan ini PR besar untuk bangsa ini, apalagi di kepemimpinan yang akan datang," katanya. Menurut dia, seharusnya dua kasus yang menyebabkan hilangnya nyawa anak di tangan ayahnya sendiri bisa dihindarkan apabila masyarakat sekitar aware dengan permasalahan yang terjadi.
Bicara soal pencegahan, Komisioner KPAI sekaligus pengajar di Universitas Ahmad Dahlan ini merekomendasikan beberapa hal. Pertama, lembaga Pusat Pembelajaran Keluarga atau Puspaga harus turun hingga ke tingkat keluarga, untuk memberikan edukasi perihal pengasuhan sekaligus mendata titik rawan keluarga yang bermasalah pada ekonomi, pendidikan, dan sosial.
Kedua, RT/RW melakukan pemetaan kerentanan dalam keluarga. Peran tokoh agama dan tokoh masyarakat juga penting sebagai pengingat kepada warga soal cara mendidik anak di kondisi saat ini. "Kemudian juga memberikan pesan yang mungkin lebih pendekatan secara kekeluargaan," ucapnya.
Peran aparat penegak hukum, kata Diyah juga tidak kalah penting sebagai upaya paling akhir mencegah kasus kekerasan pada anak ini. Namun, ia mengkritisi fungsinya belakangan ini. Menurut dia, aparat hukum tidak hanya memiliki tugas untuk menangkap pelaku saja. Tetapi juga turut mengedukasi masyarakat lewat Bintara Pembina Desa (Babinsa) dan patroli polisi.
Pencegahan ini perlu dilakukan segera. Sebab, Diyah khawatir akan terjadi ledakan KDRT yang menjadikan anak sebagai korban, semakin bertambah banyak. "Waktu libur kan masih panjang, karena anak dengan keluarga ekonomi menengah ke bawah rata-rata di rumah saja. Saya khawatir kondisi ekonomi keluarga yang belum bagus terus ditambah banyak hal, sewaktu-waktu meledak pelampiasannya kepada anak," ucap Diyah khawatir.
Kasus kekerasan terhadap anak bak fenomena gunung es...
Kasus kekerasan pada anak bak gunung es
Komisioner KPAI yang lain, Aris Adi Leksono menyebut kasus kekerasan yang menjadikan anak sebagai korban ini ibarat fenomena gunung es. "Satu kasus nampak, yang lain masih belum terungkap. Satu kasus tertangani, yang lain masih banyak terabaikan," katanya kepada Tempo.
Diyah menyebut akhir tahun dan masa liburan sekolah menjadi waktu yang rentan bagi anak-anak mendapatkan perlakuan kekerasan dari orang terdekatnya sendiri. Berdasarkan analisis dan pengalamannya selama menjadi Komisioner KPAI, Diyah mengungkapkan ada pola waktu tersendiri perihal kekerasan pada anak.
"Polanya seperti itu. Jadi kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) anak itu seringnya, mohon maaf ini kami memang analisis, ya, itu ketika libur kenaikan kelas dan akhir tahun," kata Diyah.
Ia memberi contoh ketika ditugaskan mengawasi kasus kekerasan pada anak di Jawa Timur. Ketika itu sedang masa liburan sekolah, seingat dia di Juni hingga Juli 2023. Setidaknya ada tiga kasus di tiga wilayah berbeda, seorang ayah membunuh anaknya.
Melihat realitas itu, Diyah mengaku prihatin. Sebab, menurut dia, semestinya masa liburan sekolah dan akhir tahun menjadi waktu yang menggembirakan bagi si anak. Nahas fakta berbicara lain. Semestinya anak mendapatkan ruang aman di rumah bersama orang-orang terdekatnya, justru anak kerap menjadi korban salah sasaran luapan amarah akibat kekerasan dalam rumah tangga.
Dalam prosesnya, KPAI mengingatkan agar penyelidikan kasus perlu dilakukan cepat jika itu melibatkan anak-anak sebagai korban. Ketentuan ini diatur dalam amanat Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002, kini diubah menjadi Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.
Aris Adi mengatakan, bahwa anak sebagai korban kekerasan dalam rumah tangga atau KDRT wajib diberikan perlindungan khusus, yang meliputi penanganan kasus secara cepat, pendampingan, hingga pemulihan.