Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Arsip

Tradisi Kupatan Menjadi Lebaran Semua Umat di Jepara  

Kupatan atau Lebaran ketupat yang digelar pada tujuh hari setelah Idul Fitri juga dirayakan semua masyarakat setempat, termasuk yang nonmuslim.

29 Juni 2017 | 14.52 WIB

Ilustrasi persiapan Lebaran Ketupat atau Lebaran Syawal. ANTARA/Siswowidodo
Perbesar
Ilustrasi persiapan Lebaran Ketupat atau Lebaran Syawal. ANTARA/Siswowidodo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo

TEMPO.CO, Jakarta - Tradisi kupatan atau Lebaran ketupat bagi masyarakat Kabupaten Jepara, Jawa Tengah, punya makna tersendiri. Kegiatan yang digelar pada tujuh hari setelah Idul Fitri itu juga dirayakan semua masyarakat setempat, termasuk nonmuslim yang berdomisili di Kabupaten Jepara.

“Kupatan menjadi Lebaran semua umat di Kabupaten Jepara, mereka yang nonmuslim pun membuat ketupat dan lepet untuk menjamu tamu yang berkunjung,” kata budayawan Kabupaten Jepara, Hadi Priyanto, kepada Tempo, Kamis, 29 Juni 2017.

Baca juga:
Usai Mudik, Jokowi Akan Berlibur ke Ragunan

Mantan Ketua Dewan Kesenian Kabupaten Jepara ini menjelaskan, tradisi kupatan di kampung kelahiran Kartini ini sudah dilakukan sejak dulu pada era 1800-an. Hal itu dibuktikan dengan sebuah dokumen berita di Koran Selompret Melajoe yang menuliskan dengan panjang-lebar mengenai budaya kupatan dan lomban.

Hadi menjelaskan, secara filosofis kupatan merupakan ritual rakyat yang bermuara pada pemberian maaf. Ia mencontohkan, kupat sebagai makanan yang selalu disajikan pada 7 hari setelah lebaran Idul Fitri identik dengan makanan pendamping berupa lepet.

Baca pula:
H+3 Lebaran, Lalu Lintas di Sekitar Malioboro Macet Parah

Lepet merupakan penganan berbahan baku beras ketan yang dicampur dengan ketan dan direbus bersamaan dengan ketupat. Makanan tradisional yang lengket itu terbungkus daun kelapa muda, yang sering disebut janur.

“Lepet ketan dibungkus janur, diikat tali bambu. Nah, makanya harus melepas tali satu persatu, kemudian membuka janur pembungkus secara pelan,” katanya.

Menurut Hadi, makna yang terkandung dari makanan pendamping dalam ritual kupatan ini adalah pemberian maaf mengurai persoalan secara perlahan. Selain itu, nama lepet sendiri berasal dari kata "lepat" yang berarti maaf.

Silakan baca:
Mudik ke Makasar, Wapres JK Bersama Keluarga Belanja di Mal

Masyarakat Jepara biasa merayakan Lebaran kupatan pada tujuh hari setelah Idul Fitri, tepatnya 7 Syawal. Mereka beramai-ramai membuat ketupat dan lepet sebagai sajian makanan yang mulai disediakan pada tujuh hari setelah Idul Fitri.

Hadi menyebutkan perayaan kupatan juga berlaku bagi masyarakat nonmuslim, termasuk masyarakat beragama Kristen di Desa Bondo, Kecamatan Bangsri, dan Karanggondang di kecamatan Mlonggo serta Kelet, Kecamatan Keling.

Saat ini, tradisi kupatan terus berkembang dan lebih disesuaikan dengan kreativitas masyarakat Jepara. Hadi menjelaskan, tradisi yang dilanjutkan dengan acara lomban bagi masyarakat pantai yang melarung kepala kerbau ini ditambah dengan Festival Kupat Lepet di Pantai Kartini.

Festival itu menampilkan gelar budaya Ratu Kalinyamat sebagai sesepuh Raja Demak saat Perang Samudera di Selat Malaka. “Festival sengaja bertema perang laut, saling lempar ketupat dan lepet, mengisahkan Perang Samudera saat Jepara menjadi pangkalan pasukan laut era Adipatiunus dan Trenggono,” katanya.

EDI FAISOL


Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dian Andryanto

Dian Andryanto

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus