Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Arsip

Ulat Daun Diolah Jadi Hidangan Lezat di Daerah Ini  

Musim ulat daun bersamaan dengan awal musim hujan.

29 Desember 2015 | 21.50 WIB

Seorang pria memakan kepompong serangga saat perayaan etnik Hani di Mojiang, Propinsi Yunnan, 21 Juni 2015. Para etnik Hani terbiasa mengkonsumsi serangga seperti kalajengking, jangkrik dan kepompong serangga. REUTERS/Wong Campion
Perbesar
Seorang pria memakan kepompong serangga saat perayaan etnik Hani di Mojiang, Propinsi Yunnan, 21 Juni 2015. Para etnik Hani terbiasa mengkonsumsi serangga seperti kalajengking, jangkrik dan kepompong serangga. REUTERS/Wong Campion

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo

TEMPO.CO, Bojonegoro - Ribuan ulat bergelantungan di daun jati di wilayah hutan Kabupaten Bojonegoro dan Tuban, Jawa Timur. Itu artinya, dalam sepekan ke depan, warga yang tinggal di sekitar hutan tersebut bakal panen entung (kepompong) untuk diolah menjadi pelbagai menu masakan.

Di Tuban, ulat daun jati banyak ditemukan di Kecamatan Parengan, Montong, dan Semanding. Ulat berwarna cokelat seukuran pensil itu dikenal sebagai pemakan daun. Ulat ini tak hanya melahap daun yang masih muda, tapi juga yang sudah tua. Selembar daun jati besar bisa habis dalam waktu satu malam.

Adapun di Bojonegoro, ulat daun ini banyak ditemukan di Kecamatan Dander, Kedewan, Kasiman, dan Margomulyo. Musim ulat daun itu biasanya bersamaan dengan awal musim hujan. Ulat itu muncul dari sela-sela tanah dan merayap ke daun melalui batang pohon.

Menurut Ratno, 49 tahun, petugas jaga Wana Perhutani Parengan, jumlah ulat daun akan semakin banyak dalam satu-dua pekan ke depan. Setelah melahap daun jati, satu pekan kemudian ulat tersebut berubah menjadi entung.

Ratusan, bahkan ribuan, entung juga bersembunyi di balik daun jati yang jatuh di tanah. Entung inilah yang kemudian akan berubah menjadi kupu-kupu.

”Ya, sekitar dua-tiga pekan ini, entung akan banyak. Kemunculannya ditunggu-tunggu warga karena hanya terjadi sekali dalam setahun,” ujarnya, Selasa, 29 Desember 2015. 

Bagi warga yang tinggal di tepi hutan, entung-entung tersebut bisa diolah menjadi tumis, rica-rica, dan sambal goreng. Bahkan sebagian juga menjualnya ke pasar. Harga entung  cukup mahal. Untuk satu kilogram, harganya bisa mencapai Rp 80-100 ribu.

Salah seorang warga Parengan, Narti, 34 tahun, menuturkan keluarganya termasuk penyuka masakan dari entung, terutama bila diolah menjadi tumis pedas dan dicampur dengan kecap. "Menu ini menjadi masakan favorit keluarga kami. Namun, bagi yang tak biasa, bisa alergi dan gatal-gatal," tuturnya.

Selain Tuban dan Bojonegoro, masakan dari entung sudah tak asing bagi warga Ngawi, Jawa Timur, dan Blora, Jawa Tengah.  Bahkan masakan itu kerap dikirim ke luar kota, seperti Semarang, Jakarta, Bandung, dan Surabaya.

SUJATMIKO

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kukuh S. Wibowo

Kukuh S. Wibowo

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus