Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PRESIDEN Prabowo Subianto menyebut bahwa pemerintah harus menambah dan memperluas penanaman kelapa sawit tanpa perlu khawatir oleh dampak lingkungannya. Menurut Prabowo, komoditas ini merupakan pohon lantaran memiliki daun sehingga menyerap karbondioksida.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Enggak usah takut membahayakan deforestasi," kata Prabowo saat berpidato di Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) Nasional Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025-2029, Senin, 30 Desember 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Namun, apakah klaim Prabowo tersebut benar? Sebuah artikel berjudul “Oil Palm Plantations are Part of the “Lungs” for the Earth Ecosystem” yang diterbitkan pada 2021 di Palm Oil Journal—milik Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute—menyebut bahwa perkebunan kelapa sawit dapat menyerap karbon dioksida sebanyak 64,5 ton bersih per hektar per tahun, lebih besar dari hutan tropis yang punya kemampuan menyerap 42,4 ton kabon dioksida per hektar per tahun. Angka penyerapan bersih didapat dari selisih jumlah karbon yang disimpan dengan yang dilepas ke atmosfer. Penelitian tersebut menyebut bahwa hal tersebut karena hutan tropis terdiri dari tumbuhan berusia matang atau tua, yang laju fotosintesisnya mendekati laju proses respirasi.
Berdasarkan penelusuran Tempo, data tersebut didapat dari studi terdahulu yang terbit pada 1999 berjudul “Comparative Ecophysiology of Oil Palm and Tropical Rainforest” yang terdapat dalam buku Oil Palm and the Environment: A Malaysian Perspective. Tempo belum menemukan versi digital buku tersebut untuk menelaah lebih lanjut penelitian tersebut.
Sebuah studi tipe reviu yang ditulis Denis J. Murphy—profesor emeritus di bidang bioteknologi University of South Wales— membahas lebih lanjut penelitian tersebut. Studi berjudul “Carbon Sequestration by Tropical Trees and Crops: A Case Study of Oil Palm” yang terbit pada 8 Juli 2024 di jurnal Agriculture turut membandingkan hasil penelitian tersebut dengan penelitian-penelitian serupa. Menurutnya, kemampuan kelapa sawit menyerap karbon dioksida bervariasi, tergantung pada umur tumbuhan. Perkebunan yang telah berusia 10 tahun lebih mampu menyerap 49 ton bersih karbon dioksida per hektar per tahun, sedangkan yang berusia lebih muda hanya mampu menyerap 12 hingga 17 ton karbon dioksida.
Sedangkan dosen iklim dan siklus karbon Universitas Udayana Ida Bagus Mandhara Brasika menyebut bahwa perbandingan penyerapan karbon kebun kelapa sawit dengan hutan adalah senilai 0,2 berbanding 1. Ia pun mengibaratkan perbandingan kemampuan menyerap karbon dua kawasan tersebut sebagai mangkuk wedang ronde dengan mangkuk bakmi jumbo.
“Kalau kuah bakmi dipindah ke mangkuk wedang ronde, ya bleber-bleber,” tulisnya dalam sebuah konten Instagram. Ia telah menyilakan Tempo untuk mengutip penjelasannya tersebut.
View this post on Instagram
Proses penyerapan karbon oleh kelapa sawit tidak dapat dilepaskan dari proses pelepasan emisi akibat alih fungsi lahan. Riset Jörn Germer dan Joachim Sauerborn, dua peneliti asal University of Hohenheim, pada 2008 yang berjudul “Estimation of the impact of oil palm plantation establishment on greenhouse gas balance” menyebut bahwa konversi hutan tanah mineral menjadi kelapa sawit dapat melepaskan gas rumah kaca ekuivalen karbon dioksida sebanyak 650 Megagram per hektar dalam siklus 25 tahun. Angkanya naik dua kali lipat jika perkebunan kelapa sawit didirikan di atas lahan bekas hutan gambut.
Pelepasan gas rumah kaca tersebut diakibatkan oleh hilangnya biomassa penyimpan karbon, serta karbon yang dilepaskan oleh tanah. Pada lahan sawit bekas hutan gambut, dekomposisi turut berpengaruh dalam pelepasan emisi. Lebih lanjut lagi, dekomposisi yang terus berjalan juga dapat memberi tambahan jumlah emisi gas rumah kaca yang dilepas, tergantung seberapa dalam gambut yang terdapat di dalamnya.
Murphy pun turut menyinggung pengaruh signifikan emisi yang diakibatkan alih fungsi hutan dan lahan gambut. Dalam studinya, ia menyebut bahwa moratorium alih fungsi lahan dan praktik sawit yang berkelanjutan dapat mengurangi pelepasan emisi karbon dan kehilangan biodiversitas.
“Jika perluasan perkebunan kelapa sawit diperlukan, perkebunan baru sebaiknya berada di wilayah seperti Amerika Selatan dan Afrika Barat, di mana deforestasi atau konversi lahan gambut tidak terjadi,” tulisnya.
Sebaliknya, kelapa sawit yang ditanam di atas bekas padang rumput dapat berkontribusi dalam penyerapan karbon. Estimasi yang dilakukan Germer dan Sauerborn menemukan bahwa kebun kelapa sawit tersebut dapat menyerap karbon dioksida sebanyak 135 Megagram per hektar.
Faktor lingkungan lain yang tidak boleh dilupakan adalah kemampuan hutan dalam mencegah banjir. Mandhara Brasika menyebut bahwa tanah perkebunan kelapa sawit tidak memiliki kemampuan untuk menyerap air hujan layaknya tanah di kawasan hutan. “Nah banjir lah itu daerah sekitarnya, makan korban,” tulisnya.