Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Di tengah pandemi global corona, PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk. mengoptimalkan remitansi dari negara yang tidak menerapkan lockdown. Selama ini, sebelum wabah Covid-19, negara penyumbang remitansi terbesar BRI adalah Malaysia, Singapura, Taiwan, Hong Kong, Korea Selatan, Jepang, Uni Emirat Arab, dan Saudi Arabia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Corporate Secretary Bank BRI Amam Sukriyanto mengatakan, perseroan melakukan ekspansi dengan menambah kerja sama dengan counterpart baru yang memiliki aplikasi pengiriman uang online. Dengan demikian, sehingga pekerja migran Indonesia (PMI) masih terus dapat mengirimkan uangnya tanpa harus ke outlet.
"Melihat potensi bisnis ke depan yang masih berpeluang untuk membaik, BRI Optimis, target bisnis remitansi hingga akhir tahun 2020 dapat tercapai," kata Amam kepada Bisnis, Senin 30 Maret 2020 malam.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada kuartal I/2020, bisnis remitansi bank dengan aset terbesar ini disebut cukup tertekan karena penyebaran Covid-19 yang membuat beberapa negara menerapkan lockdown.
Bisnis remitansi BRI selama 2019 tercatat tumbuh sebesar 18 persen dibandingkan dengan tahun lalu (year on year/yoy). Berdasarkan data remitansi tenaga kerja Indonesia (TKI) oleh Bank Indonesia dan BNP2TKI, nilai yang tercatat pada 2019 adalah senilai US$ 11,435 miliar. Jumlah tersebut mengalami peningkatan sebesar 4,2 persen dibandingkan dengan posisi 2018 yang senilai US$10,974 miliar.
Secara terpisah, ekonom PT Bank Central Asia Tbk. David E. Sumual mengatakan, di antara kinerja lainnya, bisnis remitansi tidak akan terlalu terpuruk. Sebab, transaksinya tidak perlu melibatkan perpindahan barang maupun orang.
Apalagi, bisnis remitansi didominasi oleh tenaga kerja yang menjadi pekerja rumah tangga atau domestic helper, yakni pekerjaan yang tetap berjalan meskipun ada virus corona. Meskipun demikian, dia tidak memungkiri, penurunan bisa saja terjadi jika tenaga kerja Indonesia ada yang berprofesi sebagai buruh pabrik di luar negeri dan terpaksa dirumahkan. "Dibandingkan dengan bisnis lain, remitansi masih normal. Kalau mungkin turun, turunnya tidak banyak," katanya.