Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Aplikasi jual beli surat utang dan obligasi atau e-bond milik PT Bank Permata Tbk., mulai diminati oleh pasar. Direktur Retail Bank Permata, Bianto Surodjo mengatakan sebagian investor beralih menggunakan aplikasi ini untuk membeli dan menjual bond.
"Baru proses dua minggu diluncurkan, kami mulai edukasi, dan sudah mulai ada transaksi. Nasabah yang lebih modern mulai coba-coba," kata Bianto di Aston Suite, Rabu malam, 27 September 2017.
Baca: Pemerintah Terbitkan Surat Utang Global dan Euro Bersamaan
Bank Permata menciptakan platform jual beli obligasi via internet banking pada 11 September 2017. Aplikasi ini diklaim sebagai platform pertama di Indonesia.
Investor bisa memilih berbagai jenis instrumen yang ditawarkan melalui e-bond, baik berdenominasi rupiah maupun mata uang asing. Di antaranya adalah surat utang negara (SUN), surat berharga syariah negara (SBSN), obligasi ritel Indonesia (ORI), sukuk untuk investor ritel (sukri) dan lain-lain.
Menurut Bianto, transaksi melalui e-bond lebih cepat dan mudah dibandingkan secara manual. Investor dapat memantau harga jual belo dari dari platform tersebut. "Jadi tidak perlu dateng lagi ke kantor cabang. Cukup datang sekali untuk pembelian pertama diterangkan cara penggunaannya. Kemudian nanti sudah bisa menggunakan sendiri," ucap Bianto.
Sebelumnya, nasabah harus berkali-kali datang ke kantor Bank Permata untuk mengurus administrasi investasi. Hal ini membuat mereka berpikir ulang untuk investasi.
Saat ini, nasabah hanya perlu menyiapkan modal untuk investasi obligasi melalui e-bond minimal sebesar Rp 100 juta lalu mendaftar di kantor cabang. Selanjutnya, mereka bebas mengakses fitur e-bond di Permata Net.
Deputi Komisioner Pengawas Pasar Modal II Otoritas Jasa Keuangan Fakhri Hilmi mengatakan, persoalan utama pasar surat utang adalah likuiditas dan pembentukan harga. Karena itu, electronic trading platform (ETP) diluncurkan untuk membantu pembentukan harga. Dengan begitu, likuiditas juga akan terbantu.
"Secara transaksi memang jauh sekali. Obligasi pemerintah paling 600-700 kali sehari. Bandingkan dengan saham yang 330 ribu. Likuiditasnya jauh sekali. PR kita masih banyak," kata Fakhri.
Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan Robert Pakpahan sebelumnya berujar dengan adanya ETP, frekuensi perdagangan ORI di pasar sekunder dapat meningkat. Melalui ETP, seluruh informasi terkait perdagangan obligasi juga bisa lebih cepat.
ANGELINA ANJAR
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini