Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral melaporkan terjadi perubahan dalam kerja sama studi pengembangan Blok East Natuna di perairan Natuna. Salah satu perusahaan yaitu ExxonMobil, menyatakan mundur dari konsorsium perusahaan East Natuna.
"Jadi dari kalkulasi dia, ya begitu isinya (mundur). Segera Exxon akan dipanggil, minggu depan mungkin," ujar Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi I Gusti Nyoman Wiratmaja, di kantornya kemarin, Selasa, 18 Juli 2017.
Selain Exxon, konsorsium terdiri dari PT Pertamina (Persero) dan PTT EO (Thailand). Ketiga perusahaan mengadakan studi kelayakan teknis dan komersial sejak awal 2016 silam. Kajian pengelolaan menjadi insiatif Pertamina yang menjadi bagian dari principle of agreement (PoA) dengan pemerintah. Kesepakatan ini bakal berakhir pada 2018 mendatang.
Vice President of Public and Government Affairs Exxon Erwin Maryoto membenarkan perusahaannya tidak ingin melanjutkan aktivitas terkait East Natuna. Keputusan diambil setelah perusahaan merampungkan studi kelayakan. "Kami tetap berkomitmen beroperasi dan mencari peluang bisnis lainnya di Indonesia," kata Erwin, sebagaimana dikutip Reuters.
Exxon adalah pemegang konsesi East Natuna sejak bernama Natuna D-Alpha pada 1980. Namun kontrak pengelolaan berakhir pada 2007. Pertamina menjadi penanggungjawab blok mulai 2008.
Direktur Hulu Pertamina Syamsu Alam studi kelayakan East Natuna sudah selesai. Perusahaan pun menyerahkan hasil kajian ke Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. Studi nantinya dipakai pemerintah sebagai bekal memberi insentif untuk pengelolaan blok.
Insentif pada awalnya berupa porsi bagi hasil 45 persen untuk kontraktor. Sisanya sebesar 55 persen untuk pemerintah. Namun menurut Wiratmaja, jenis pemanis investasi butuh diskusi lebih lanjut karena skema kontrak akan beralih dari sistem cost recovery (biaya penggantian operasi) ke bagi hasil kotor (gross split). "Ini, kan yang dibahas ke depan pakai gross split. Sudah pasti splitnya," ujar Wiratmaja.
Kementerian Energi masih menginginkan Pertamina bisa merencanakan produksi minyak di East Natuna. Wiratmaja memprediksi minyak bisa disedot sebanyak 7.000-15.000 barel per hari.
Cadangan minyak Blok East Natuna mencapai 318 juta standar tangki barel (mmstb). Potensi gasnya lebih banyak yakni 222 triliun kaki kubik (TCF). Cadangan gas terbuktinya sebesar 46 TCF. Bandingkan dengan Blok Mahakam di Kalimantan Timur yang cadangannya mencapai 29,85 TCF. Tapi saat ini gas sulit dikembangkan karena kandungan CO2 dalam sumber daya ini terhitung tinggi, yaitu sebesar 72 persen.
Wiratmaja pun belum bisa memastikan kapan perusahaan bisa meneken kontrak kerja sama. Jadwalnya molor dari rencana pemerintah semula, yaitu Septermber 2016. Sedangkan Syamsu enggan memastikan kapan perusahaan bisa mengebor minyak.
"Kalau sampai ke tahap pengeboran masih panjang, karena konsep pengembangan yang bisa ekonomis dan komersial masih dalam tahap studi," kata Syamsu.
Maju Mundur Pengeboran Ladang Gas Raksasa
Sejak 44 tahun yang lalu, sumur gas East Natuna tidak pernah dibor. Sekalipun cadangannya terbesar di Indonesia, banyak faktor yang membuat produksi tidak ekonomis.
1973
Agip, perusahaan migas Italia menemukan cadangan gas East Natuna, yang dulu bernama Natuna D-Alpha. Namun perusahaan mengembalikannya kepada pemerintah karena tingginya kandungan CO2 membuat pengeboran gas tidak ekonomis.
1980
Pengelolaan diambil alih Exxon.
2007
Exxon mengembalikan kepada pemerintah lantaran alasan serupa.
2008
Pemerintah menugaskan Pertamina mengelola blok.
2011
Pertamina menyepakati kesepakatan prinsip untuk membagi East Natuna kepada ExxonMobil, Total, dan Petronas (kemudian diganti PTT EP asal Thailand). Konsorsium juga bertugas mengkaji keekonomian pengeboran migas East Natuna.
2016
Konsorsium menciut menjadi Pertamina, ExxonMobil, dan PTT EP.
Juli 2016
Jokowi meminta pengembangan Blok East Natuna dipercepat. Kajian teknis dan komersial dimulai.
2017
Studi rampung. Exxon keluar dari konsorsium.
Sumber: Riset Tempo
ROBBY IRFANY
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini