Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO , Jakarta: Direktur Pengembangan Bisnis dan Sumber Daya Sewatama Stefanus Johan mengatakan investasi listrik energi terbarukan (biomass) sangat menggiurkan. "Tapi masih banyak kekurangannya yang menghalangi kami," ujarnya di Jakarta, Minggu, 23 Agustus 2015.
Menurutnya, kendala yang paling sering terjadi adalah sulitnya menjalin hubungan dengan Perusahaan Listrik Negara (PLN) dan perusahaan kelapa sawit. Kedua perusahaan tersebut dinilainya emoh menjalin kerja sama mengembangkan energi terbarukan.
"Selain itu jarak antar PLN dengan tempat pengolahan limbah mayoritas saling berjauhan," katanya. Akibatnya para investor juga banyak yang menarik diri karena khawatir biaya operasional akan membengkak.
Masalah lain disebabkan dengan tidak adanya sistem tarif. Hingga kini, Kementerian Energi dan Sumber Daya Manusia belum merampungkan sistem tarif karena terkendala kurs mata uang.
"Awalnya, banyak asosiasi dan pengembang ingin keekonomisannya menggunakan dollar," ujar Direktur Bioenergi Kementerian ESDM Tijnaldi. Tapi Peraturan Menteri Nomor 27 Tahun 2015 tersebut terhalang oleh Peraturan Bank Indonesia yang melarang transaksi Dollar Amerika Serikat di dalam negeri.
Tijnaldi mengatakan pihaknya akan terus mengatasi segala hambatan dalam pengembangan energi terbarukan, khususnya biomass. "Selain baru kami gembar-gemborkan, masalah yang ada di lapangan memang dinamis," katanya.
Dia mengatakan, akan mempermudah proses perizinan tanpa perlu mengurus izin ke kementerian pusat atau PLN pusat. Pun, kalau ingin menjalin kerja sama dengan pengusaha sawit, para investor cukup dengan menghubungi asosiasi kepala sawit.
"Kami juga akan memberikan insentif kepada para pengusaha swasta (IPP) di sektor biomass ini," katanya. Insentif akan diberikan berupa pengurangan biaya operasional atau subsidi. Hal itu dilakukan karena PLN dan kementerian tak bisa mengambil semua pembangunan sumber listrik biomass.
"Selain itu perbankan juga lebih lunak memberikan pinjaman," katanya. Musababnya, selain risiko yang minim, barang investasi berupa limbah lebih bisa ditimbang perbankan untuk manajemen risikonya.
Tijnaldi mengatakan potensi biomas yang ada sekarang bisa mencapai 32 gigawatt. Adapun 10 komoditas yang dapat digunakan yaktu limbah kelapa sawit, padi, tebu, kayu, sampah perkotaan, karet, jagung, sekam, singkong, kelapa. "Untuk kelapa sawitnya saja sudah berpotensi 12,6 gigawatt dari 32 megawatt potensi keseluruhan," katanya.
Tijnaldi mengatakan pihaknya memiliki target pengembangan energi alternatif untuk menggantikan energi konvensional secara bertahap.
Pada tahun 2025 proporsi energi nasional akan diisi 48,8 gigawatt dari energi terbarukan atau 40 persen dari seluruh total energi nasional sebesar 115 gigawatt. Pun, target pengembangan listrik jangka pendek dan menengah 35 megawatt terus dikejar dari biomass.
ANDI RUSLI
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini