Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Kurs rupiah bergerak volatile dalam sepekan terakhir setelah rilis data-data ekonomi Amerika Serikat terbaru tampil bervariasi. Persepsi atas peluang kenaikan suku bunga AS (Fed Rate) yang praktis jadi naik-turun membuat investor belum mau melepas aset-aset bernilai dolar.
Analis kuantitatif dari Bank Mandiri, Reny Eka Putri, menyatakan variasi perkembangan data ekonomi Negeri Abang Sam membuat laju mata uang rupiah begitu dinamis. Pasalnya, di tengah ketidakpastian kebijakan moneter bank sentral AS, investor belum percaya diri sepenuhnya mengoleksi aset-aset berisiko. “Rupiah dan mata uang regional menjadi sensitif dengan perkembangan indikator ekonomi AS,” ucapnya.
Sebagaimana diketahui, setelah data penjualan retail September lalu tumbuh negatif 0,3 persen, inflasi inti tumbuh 0,2 persen, serta angka sentimen masyarakat atas masa depan ekonomi AS (Prelim UoM Consumer Sentiment) naik signifikan ke level 92,1, optimisme investor atas kenaikan Fed Rate dalam waktu dekat kembali meningkat. Alasan ini kemudian menjaga daya tarik investor terhadap mata uang greenback.
Terlebih, menurut Reny, isi paket kebijakan ekonomi IV kurang populer di mata investor. Rencana kenaikan upah buruh saban tahun mendatangkan asumsi biaya operasional perusahaan bakal menjadi lebih tinggi. Bagi pemodal asing, hal ini tentu mengurangi minat berinvestasi di Indonesia. “Meskipun tidak berkaitan langsung dengan pergerakan rupiah, kenaikan upah buruh bernilai negatif bagi sebagian investor,” ujarnya.
Tak mengherankan, seiring dengan minimnya kehadiran sentimen positif dari dalam negeri pada pekan ini, rupiah diprediksi cenderung tertekan. Hari ini, pengumuman indeks penjualan rumah AS (NAHB Housing Market Index) yang diprediksi tumbuh lebih dari level 62 menambah besar peluang penguatan dolar.
PDAT | MEGEL JEKSON
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini