Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Pengamat otomotif dan akademikus dari Institut Teknologi Bandung, Yannes Martinus Pasaribu, menjelaskan alasan Pertamax disebut-sebut lebih irit ketimbang Pertalite. Ia mengemukakan hal ini tak terlepas dari kandungan oktan dalam jenis bahan bakar minyak (BBM).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Semakin tinggi kompresi mesin, maka menuntut bahan bakar dengan oktan yang lebih tinggi. Pada mesin ini, bahan bakar oktan tinggi akan meningkatkan performa dan penghematan BBM," ujar Yannes seperti dikutip dari Bisnis, Jumat, 23 September 2022.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Adapun Pertalite merupakan BBM RON 90. Research octane number atau oktan 90 memiliki standar internasional kimiawi yang seragam di seluruh dunia. Sementara itu, RON merupakan ikatan kimia pada fluida bahan bakar yang menentukan tingkatan kekuatan BBM menerima kompresi di dalam mesin motor bakar.
Yannes menuturkan pengguna kendaraan harus menggunakan BBM sesuai dengan peringkat oktan yang disyaratkan pabriknya. Penggunaan BBM dengan oktan yang lebih rendah dapat menyebabkan kinerja mesin menjadi buruk dan dapat merusak mesin.
"Di samping secara instan akan membuat kendaraan kita bahkan jauh lebih boros. Karena, BBM-nya belum sampai ke bagian atas pistonnya, sebelum terpercik api dari busi, sudah terbakar sebelum waktunya. Akibat lainnya, mesin akan cepat mengalami overheating," katanya.
Ia melanjutkan, Pertamax dengan oktan yang lebih tinggi ideal untuk mesin-mesin kendaraan modern yang berkompresi antara 9:1 sampai 11:1. Sebab, ini akan mengoptimalkan efisiensi BBM-nya dan kinerja mesinnya. Makin tinggi kompresi ruang bakar, makin sempurna pembakaran yang dihasilkan.
Secara terpisah, dosen dari Kelompok Keahlian Konversi Energi ITB Tri Yuswidjajanto Zaenuri berpendapat PT Pertamina (Persero) harus mengecek penyaluran Pertalite di lapangan. Pengecekan sampai pemeriksaan itu penting dilakukan seiring maraknya isu bahwa Pertalite lebih boros ketimbang Pertamax.
“Kalau memang kenyataannya terjadi distorsi kualitas, akui saja dan dicari masalahnya datang dari mana supaya tidak terulang lagi,” kata Tri.
Dia mencontohkan beberapa kasus yang terjadi sebelumnya, seperti pada 2010. Kala itu, terjadi distorsi kualitas bahan pompa bahan bakar kendaraan dari produsen yang merugikan konsumen. Lalu ada kasus BBM solar di daerah Jawa Timur dan Jawa Tengah.
“Jadi lubricity BBM turun sehingga banyak pompa bahan bakar yang rusak,” ujar Tri.
Masalah lain ialah impor BBM Premium yang menimbulkan kerusakan busi dan klep untuk mobil dan sepeda motor. Kasus ini terjadi di Bali, Makasar, Jember. “Setelah diinvestigasi, ternyata BBM yang impor itu memakai aditif peningkat oktan berbasis mangaan,” kata dia.
Dalam kasus-kasus sebelumnya itu, menurut Tri, Pertamina melakukan investigasi bersama dengan asosiasi kendaraan bermotor di Indonesia. Tim peneliti dari ITB pun ikut terlibat. Investigasi itu untuk mencari tahu masalah dan sumbernya sehingga kejadian serupa tidak terulang lagi di kemudian hari.
“Harusnya (Pertalite) ini juga sama karena sudah dikeluhkan masyarakat yang cukup luas,” ujarnya.
BISNIS | ANWAR SISWADI
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini