Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Pelaku usaha kelapa sawit di Indonesia keberatan dengan rencana pemerintah Prancis. Jika berlaku, pajak itu akan membuat harga minyak sawit di Negeri Napoleon menjadi lebih mahal ketimbang minyak nabati lain. "Kami keberatan dengan rencana menaikkan pajak CPO (crude palm oil) tersebut," kata Ketua Umum Dewan Minyak Sawit Indonesia Derom Bangun di Jakarta, Rabu, 3 Februari 2016.
Saat ini pajak barang impor produk CPO atau minyak sawit mentah dan turunannya di Prancis hanya sekitar 97-100 euro.
Adapun besaran kenaikan pajak yang akan dikenakan pemerintah Prancis bakal berlaku bertahap, yakni sebesar € 300 per ton pada 2017, € 500 per ton (2018), € 700 per ton (2019), dan € 900 per ton (2020).
Harga CPO di Eropa saat ini sekitar € 500 per ton. Sedangkan minyak biji bunga matahari dan minyak kedelai saat ini mencapai € 650 per ton. "Tapi, kalau sawit dikenai pajak tinggi, harga minyak nabati lain bakal lebih murah," ucap Derom.
Berdasarkan data Direktorat Jenderal Industri Agro Kementerian Perindustrian, realisasi ekspor CPO dan produk turunannya sepanjang 2015 mencapai 26,40 juta ton. Sedangkan ekspor ke negara-negara Uni Eropa, termasuk Prancis, mencapai 4,23 juta ton.
Alasan diusulkannya kenaikan pajak ini adalah adanya anggapan bahwa minyak sawit merupakan produk yang tidak ramah lingkungan. Anggapan ini akibat insiden kebakaran hutan di beberapa tempat di Indonesia dan disinyalir terkait dengan kegiatan ilegal pembukaan lahan hutan untuk dijadikan perkebunan sawit. "Jadi alasannya ini sebagai sin tax, semacam pajak penebus dosa, karena produk CPO dianggap tidak ramah lingkungan, padahal belum terbukti," ujar Direktur Utama Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit Bayu Krisnamurthi.
Bayu menuturkan pemerintah akan berkoordinasi terkait dengan masalah ini. Meski baru berupa draft, rencana penerapan pajak sawit di Prancis itu harus diwaspadai, tak hanya Indonesia, tapi juga produsen sawit lain. "Salah satunya, kami akan berkomunikasi dengan negara produsen CPO lain, seperti Malaysia, untuk menyampaikan penolakan, agar rencana tersebut tidak jadi diterapkan."
PINGIT ARIA
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini