Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral mengungkapkan perubahan dalam kerja sama studi pengembangan lapangan gas Blok East Natuna di perairan Natuna. ExxonMobil menyatakan mundur dari konsorsium penggarap lapangan gas tersebut.
”Jadi, dari kalkulasi dia, ya, begitu isinya (mundur). Segera Exxon akan dipanggil, minggu depan mungkin,” ujar Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi I Gusti Nyoman Wiratmaja di Jakarta, seperti dikutip Koran Tempo edisi Rabu, 19 Juli 2017.
Baca: Kementerian ESDM Jelaskan Kenapa Exxon Mundur dari Konsursium Gas Natuna
Selain ada Exxon, konsorsium terdiri atas PT Pertamina (Persero) dan PTT EP (Thailand). Ketiga perusahaan mengadakan studi kelayakan teknis dan komersial sejak awal 2016. Kajian pengelolaan merupakan inisiatif Pertamina, yang menjadi bagian dari principle of agreement dengan pemerintah. Kesepakatan ini bakal berakhir pada 2018.
Vice President of Public and Government Affairs Exxon Erwin Maryoto membenarkan perusahaannya tidak ingin melanjutkan aktivitas di Blok East Natuna. Keputusan diambil setelah perusahaan merampungkan studi kelayakan. “Kami tetap berkomitmen beroperasi dan mencari peluang bisnis lain di Indonesia,” kata Erwin kepada Tempo.
Exxon adalah pemegang konsesi East Natuna sejak blok itu bernama Natuna D-Alpha pada 1980. Namun kontrak pengelolaan berakhir pada 2007. Pertamina menjadi penanggung jawab blok mulai 2008.
Direktur Hulu Pertamina Syamsu Alam membenarkan kabar studi kelayakan East Natuna sudah selesai. Perusahaan pun menyerahkan hasil kajian ke Kementerian Energi. Selanjutnya, hasil studi akan dipakai pemerintah sebagai acuan membuat kebijakan insentif bagi pengelolaan blok tersebut.
Baca: Dinilai Tak Ekonomis, ExxonMobil Akan Hengkang dari East Natuna
Insentif pada awalnya berupa porsi bagi hasil 45 persen untuk kontraktor. Sisanya sebesar 55 persen untuk pemerintah. Namun, menurut Wiratmaja, butuh diskusi lebih lanjut untuk menentukan jenis “pemanis investasi” karena skema kontrak akan beralih dari sistem cost recovery (biaya penggantian operasi) menjadi bagi hasil kotor (gross split). “Ini kan yang dibahas ke depan pakai gross split. Sudah pasti split-nya,” ujar Wiratmaja.
Kementerian Energi masih menginginkan Pertamina bisa merencanakan produksi minyak di East Natuna. Wiratmaja memprediksi minyak bisa disedot sebanyak 7.000-15 ribu barel per hari. Cadangan minyak Blok East Natuna mencapai 318 juta standar tangki barel (MMstb). Potensi gasnya lebih banyak, yakni 222 triliun kaki kubik (TCF). Cadangan gas terbuktinya sebesar 46 TCF. Bandingkan dengan Blok Mahakam di Kalimantan Timur, yang cadangannya sebanyak 29,85 TCF. Tapi saat ini gas sulit dikembangkan karena kandungan CO2 dalam sumber daya ini terhitung tinggi, yaitu sebesar 72 persen.
Wiratmaja belum bisa memastikan kapan perusahaan bisa meneken kontrak kerja sama. Jadwalnya molor dari rencana pemerintah semula, yaitu September 2016.
Syamsu enggan memastikan kapan perusahaan bisa mengebor minyak. “Kalau sampai ke tahap pengeboran, masih panjang, karena konsep pengembangan yang bisa ekonomis dan komersial masih dalam tahap studi,” katanya terkait dengan pengembangan lapangan gas Natuna.
ROBBY IRFANY
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini