Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Gubernur Bank Indonesia atau Gubernur BI Perry Warjiyo menjelaskan penyebab kebangkrutan yang terjadi pada tiga bank di Amerika Serikat yaitu Silicon Valley Bank, Silvergate Bank dan Signature Bank. Menurut dia, tiga bank tersebut memiliki model bisnis yang tidak stabil dan sangat rentan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Kenapa? Deposit fundingnya terkonsentrasi pada deposan-deposan besar. Konsentrasi of funding yang 93 persen itu adalah deposan besar,” ujar dia dalam konferensi pers virtual pada Kamis, 16 Maret 2023.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Selain itu, deposannya dalam klaster yang sama yaitu berkaitan dengan startup maupun financial technology company yang memiliki karakteristik sama. “Ini rentan terhadap funding,” ucap Perry.
Sementara dari sisi asetnya, dia melanjutkan, penempatan dananya memang sebagian besar dalam surat-surat berharga khususnya pemerintah. Memang risiko kredit dan gagal bayarnya karena ini surat berharga pemerintah, kelihatannya rendah.
Namun, kata Perry, yang menjadi risiko adalah valuasi. Karena surat-surat berharga yang dimiliki oleh bank ini sebagian besar adalah available for sale (AFS). Sehingga terkena mark-to-market—melonggarkan aturan acuan harga pasar—valuasi. “Sebagian kecil bahkan sangat kecil yang how to maturity,” kata dia.
Selanjutnya: Cerita para nasabah SVB menarik uangnya secara bersamaan
Sehingga kenapa terjadi loss di dalam sekurities valuation, karena suku bunga Fed Fund Rate dan US Tresury naik, lalu harga obligasi pemerintah turun, kemudian negatif valuasi dari surat-surat berharganya. Negatif valuasi ini yang kemudian menggerogoti modalnya.
“Barangnya (surat berharga pemerintah) sebenarnya aman tapi karena available for sale makanya mark-to-market loss, dan itu menggerogoti modal,” ucap Perry.
Dia mencontohkan Silicon Valley Bank yang ingin menambah modal melalui penawaran saham perdana atau IPO yang memunculkan pertanyaan. Kemudian, Perry berujar, rencana IPO itu gagal, yang kemudian menjadi rumor bagi para deposan. Lalu, banyak deposan yang secara spontan ingin menarik dananya dan terjadi laj bank runs—keadaan di mana nasabah bank melakukan penarikan uang besar-besaran.
“Itulah yang terjadi pada Jumat sepekan lalu dengan cepat,” tutur Perry. “Kemudian, pada Jumat malam, Sabtu, dan Ahad, pemerintah Amerika bergerak cepat melalui Federal Deposit Insurance Corporation (FDIC), untuk mengambil alih bank tersebut.”
Pilihan editor: Bank Indonesia Tahan Suku Bunga Acuan di 5,75 Persen
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini