Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Pakar IT dari ICT Institute Heru Sutadi menjelaskan tantangan khususnya bagi industri telekomunikasi ke depan untuk bertahan dan melewati transformasi digital. Karena, kata dia, industri memiliki proses transformasi yang biasanya dilakukan analog kemudian didigitalisasi sesuai dengan kebutuhan masing-masing perusahaan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
“Industri nggak bisa melihat apa (transformasi) yang dilakukan perusahaan lain, karena mungkin kondisinya berbeda, kebutuhannya berbeda,” ujar Heru saat dihubungi pada Kamis, 16 November 2023.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Kemudian, kata dia, industri juga harus menyiapkan sumber daya manusia atau talenta Indonesia untuk bisa melek digital. Karena jika bicara transformasi digital itu yang terlibat semua lini, tidak hanya lini engineering, tapi termasuk di dalamnya tingkat kepemimpinan yang masih menjadi problem.
“Ketika tidak ada leadership ya akhirnya transformasi digital di perusahaan itu ya nggak jelas arahnya mau kemana,” tutur Heru. “Bahkan ketika terjadi perubahan, yang terjadi ya apa yang sudah dilakukan sebelum tidak dilanjutkan oleh pimpinan yang baru.”
Hal lain yang juga penting adalah pemanfaatan teknologi digital sebagai alat untuk proses transformasi digital yang berhasil. Beberapa perusahaan juga menganggap bahwa digitalisasi itu adalah tujuannya. Padahal, menurut Heru, hal itu tidak tepat, karena teknologi adalah alat untuk mencapai perusahaan menjadi lebih maju.
Dengan teknologi, perusahaan bisa lebih memberikan manfaat bagi karyawannya dan bisa memiliki daya saing. “Itu yang perlu diutamakan dan memang juga ya kalau kami lihat dengan keberadaan kebutuhan infrastruktur saat ini,” ucap Heru.
Termasuk di dalamnya internet broadband yang menjadi bagian untuk memperkuat transformasi digital. Menurut Heru, jika bicara masalah platform, kemudian perusahaan tidak memiliki akses internet yang bagu, maka agak sulit transformasi digital. “Yang memang optimal,” kata Heru.
Selanjutnya: Tantangan Industri Telekomunikasi....
Tantangan industri telekomunikasi versi Bos Telkom
Sementara, Direktur Utama PT Telkom Indonesia (Persero) Tbk Ririek Adriansyah membeberkan bahwa industri telekomunikasi mendatang semakin menantang. Hal itu disampaikannya dalam Rapat Kerja Komisi VI DPR RI dengan Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang membahas Aksi Korporasi Telkom Indonesia tentang Penataan B2C dan B2B di Telkom Group.
Salah satu tantangannya, kata Ririek, harga data atau broadband semakin menurun, sementara pemakaian semakin bertumbuh, sehingga margin tertekan. Oleh karena itu, sebagai operator, Telkom harus memiliki strategi. Salah satu di antaranya adalah melakukan efisiensi biaya investasi atau capex maupun biaya operasi atau opex.
“Itu yang salah satu yang perlu kita lakukan,” ujar dia dikutip dari akun YouTube Komisi VI DPR RI Channel pada Senin, 3 April 2023 lalu.
Selain itu, dia menuturkan, bisnis seluler khususnya menunjukan bahwa harga layanan data seluler di Indonesia sebenarnya salah satu yang termurah antara nomor 2 atau 3 di dunia dibandingkan beberapa negara lain. “Ini juga semakin menantang, bagaimana kita bisa lebih efisien lagi agar bisa mempertahankan profitabilitas dari perusahaan,” ucap dia.
Namun yang menarik, Ririek melanjutkan, ada fakta baru yaitu adanya persaingan atau kanibalisme antara jaringan WiFi di rumah dengan mobile. Karena jumlah perangkat yang terkoneksi ke WiFi IndiHome semakin meningkat.
Karena kebanyakan masyarakat begitu sampai di rumah dan di kantor menggunakan jaringan WiFi. Bahkan, menurut dia, terkadang ketika nonton film melalui aplikasi Netflix, banyak diunduh terlebih dahulu dari rumah atau kantor kemudian ditonton di mobil atau MRT saat melakukan perjalanan pulang atau pergi bekerja. “Kita perlu mengkoordinasi dua bisnis itu jadi satu kendali,” tutur dia.
Di sisi lain, pertumbuhan penggunaan jaringan fixed broadband IndiHome semakin lambat dari tahun ke tahun, meskipun memiliki pelanggan lebih dari 19 juta. Penyebabnya, Ririek menambahkan, layanan di rumah untuk broadband ini cukup mahal. Jumlah rumah yang mampu membayar per bulan juga sudah mulai berkurang.
Kalaupun masih ada, dia berujar, letaknya agak berjauhan dan tersebar. Sehingga secara teknis membuat industri agak sulit untuk mengembangkan dan menggelar fiber optic. Hal itu juga menunjukan bagaimana potensi pasar relatif besar jika harga bulanannya hanya sekitar Rp 150 ribu ke bawah. “Ini potensinya besar,” kata dia.
Angkanya, Ririek menyebutkan, dari sekitar 65-70 juta rumah yang sudah dilayani fiber optik baru sekitar 15 persen yang aktif mau membayar rutin bulanan. “Jadi masih sangat sedikit,” ujar Ririek.