Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Pemerintah telah menerbitkan aturan tentang investasi miras. Ketentuan itu tercantum dalam Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2021 tentang tentang Bidang Usaha Penanam Modal. Peraturan yang diteken Presiden Joko Widodo pada 2 Februari 2021 itu memuat berbagai jenis usaha, termasuk minuman keras atau miras.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Dalam lampiran peraturan tersebut, investasi miras dapat dilakukan di Bali, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Utara, dan Papua. "Penanaman modal baru industri minuman keras mengandung alkohol dapat dilakukan di Bali, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Utara, dan Papua dengan memperhatikan budaya dan kearifan setempat," demikian tertulis dalam lampiran tiga Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2021 tentang Bidang Usaha Penanam Modal.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Khusus di Papua, masyarakat memiliki berbagai jenis minuman keras lokal. Mereka menyebut miras lokal ini dengan singkatan milo. Peneliti Balai Arkeologi Papua, Hari Suroto mengatakan Suku Maybrat di Ayamaru, Papua Barat, terbiasa minum arak atau dalam bahasa setempat disebut dengan ara dju.
Suku Tehit di Teminabuan, Sorong, Papua Barat, punya miras bernama sagero. Di Nabire, minuman keras dikenal dengan nama bobo. Suku Marind di Merauke mengenal minuman keras bernama wati atau kava. "Suku Marind percaya wati adalah minuman pusaka warisan leluhur," kata Hari Suroto yang juga dosen arkeologi Universitas Cendrawasih, Papua, ini.
Tanaman wati atau kava. Foto: Wikipedia
Tanaman wati memiliki nama ilmiah Piper methysticum forst. Proses pembuatan wati terbilang unik karena harus mengunyah bagian akar atau batang tanaman wati. Untuk menghilangkan rasa dalam mulut saat mengunyah wati, biasanya Suku Marind mengkonsumsi tebu, pisang, serabut kelapa manis, dan air kelapa muda sebagai makanan dan minuman penetralisir.
Tanaman wati yang telah dimamah dalam mulut kemudiaan dilepeh dan ditempatkan ke dalam sebuah tempurung kelapa. Menurut aturan adat, Hari Suroto menjelaskan, pemamah wati harus punya hubungan darah dengan orang yang akan meminumnya, misalkan anak, keponakan, suami atau istri. "Jika wati dimamah oleh orang lain atau tanpa pertalian darah akan berakibat buruk terhadap orang yang meminumnya," katanya.
Menurut penelitian, Hari Suroto mengatakan, batang wati mengandung metistisin dan dihidrometistisin. Kedua zat ini bersifat sedatif, menenangkan, dan membuat otot menjadi rileks, sampai tertidur lelap. Meski begitu, minuman wati ini juga mengandung kavain dan dihidrokavain, yang memicu mabuk. Dari uji farmakologis selama beberapa tahun, kedua senyawa itu menjadi biang keladi efek yang memabukkan, meski tidak sekuat efek daun ganja.
Orang yang minum miras wati awalnya akan merasa kram di bagian rahang sekitar mulut. Hari Suroto mengatakan, kondisi ini dapat dinetralisir dengan makan sabut kelapa manis atau tebu. Dianjurkan juga minum air kelapa muda agar tubuh lebih segar.
Dalam adat Suku Marind hanya orang dewasa, laki-laki dan perempuan yang sudah berkeluarga, yang boleh minum minuman wati. Cairan miras wati berwarna hijau kekuningan dan rasanya seperti sabun. Cukup minum satu sloki saja bisa bikin teler dalam waktu 30 menit.
Seperti mabuk miras pada umumnya, peminum wati akan merasakan penghilatan mulai kabur atau berlipat ganda. Lambat laun efek berikutnya adalah kaki dan tangan mati rasa atau tak dapat dikenalikan. "Penyebab mabuk ini bukan alkohol, melainkan senyawaan alkaloid," kata Hari Suroto. Menurut aturan adat, minuman wati hanya boleh satu tempurung kelapa, jangan lebih.
Peraturan presiden yang mencakup investasi miras tadi juga memuat tentang kearifan lokal masyarakat. "Untuk penanaman modal baru industri minuman keras mengandung alkohol dapat dilakukan di Bali, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Utara, dan Papua dengan memperhatikan budaya dan kearifan setempat," demikian tertulis dalam lampiran Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2021 tentang Bidang Usaha Penanam Modal.