Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Pasukan keamanan Irak menembak mati setidaknya 45 pengunjuk rasa pada hari Kamis setelah demonstran menyerbu dan membakar konsulat Iran pada Rabu malam.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Setidaknya 29 orang tewas di kota selatan Nassiriya ketika tentara menembaki demonstran yang memblokir sebuah jembatan sebelum fajar pada hari Kamis dan kemudian berkumpul di luar kantor polisi. Polisi dan sumber medis mengatakan lusinan lainnya terluka.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dikutip dari Reuters, 29 November 2019, empat orang tewas di Baghdad, di mana pasukan keamanan melepaskan tembakan dengan peluru tajam dan peluru karet terhadap pengunjuk rasa di dekat jembatan di atas sungai Tigris, kata sumber, dan dua belas tewas dalam bentrokan di Najaf.
Di Nassiriya, ribuan pelayat turun ke jalan, menentang jam malam untuk menguburkan mayat rekan mereka setelah penembakan massal.
Video para demonstran yang bersorak di malam hari saat kobaran api dari konsulat adalah titik puncak protes, setelah bertahun-tahun pengaruh Teheran di antara Muslim Syiah di Irak pasca-invasi AS.
Penembakan ini adalah salah satu yang terparah sejak protes dimulai pada awal Oktober, dengan demonstrasi anti-korupsi yang meluas menjadi pemberontakan terhadap pemerintah yang dilihat oleh demonstran muda sebagai antek Teheran.
Iran menutup perbatasan Mehran ke Irak pada Kamis malam karena alasan keamanan, kantor berita Mehr melaporkan, mengutip seorang pejabat perbatasan setempat.
Di Najaf, sebuah kota tempat ziarah kuno yang berfungsi sebagai tempat kedudukan ulama Syiah yang kuat di Irak, konsulat Iran dibakar setelah diserbu demonstran Rabu malam.
Para pengunjuk rasa yang mayoritas Syiah, menuduh pemerintah Irak berbalik melawan rakyat mereka sendiri untuk membela Iran.
"Semua polisi anti huru hara di Najaf dan pasukan keamanan mulai menembaki kami seolah-olah kami membakar Irak secara keseluruhan," kata seorang pendemo.
Gedung Konsulat Iran setelah diserbu dan dibakar pendemo di Najaf, Irak 28 November 2019.[REUTERS]
Pengunjuk rasa lain, Ali, menggambarkan serangan terhadap konsulat sebagai tindakan berani dan reaksi dari rakyat Irak.
Kementerian luar negeri Iran mengutuk serangan itu dan menuntut tanggapan tegas pemerintah Irak terhadap para penyerang.
Sejauh ini, pihak berwenang Irak telah menembak mati ratusan demonstran dengan amunisi peluru tajam dan gas air mata. Pemerintah juga mengajukan proposal untuk reformasi politik yang para pengunjuk rasa anggap sebagai hal sepele dan kedok.
Perdana Menteri Irak Adel Abdul Mahdi sejauh ini menolak desakan untuk mengundurkan diri, setelah pertemuan dengan politisi senior yang dihadiri oleh komandan Pasukan Garda Revolusi Iran, Quds, unit elit yang mengarahkan sekutu milisinya ke luar negeri.
Abdul Mahdi pada hari Kamis memanggil seorang komandan militer senior di provinsi Dhi Qar, tempat Nassiriya berada, agar ke Baghdad untuk menjelaskan mengapa situasinya memburuk, kata satu pernyataan militer.
300 orang lebih telah terbunuh dan 15.000 terluka di Irak sejak dimulainya protes anti-pemerintah pada 1 Oktober, menurut laporan CNN.
Protes meletus di Baghdad dan di beberapa provinsi Syiah di selatan karena pengangguran, dugaan korupsi pemerintah dan kurangnya layanan dasar.
Namun, setelah tindakan keras pemerintah yang mematikan, para pendemo menuntut pemerintah untuk mundur dan mengadakan pemilihan dini di bawah pengawasan langsung PBB, kata para aktivis.
Banyak warga Irak menyalahkan partai politik yang saat ini berkuasa atas kesulitan ekonomi mereka. Skala protes ini diyakini sebagai yang terbesar sejak jatuhnya mantan Presiden Irak Saddam Hussein pada tahun 2003.