Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, - Pusat medis darurat Thailand mengatakan lebih dari 30 warga sipil dan polisi terluka saat unjuk rasa mendesak reformasi di dekat Istana Raja malam tadi berakhir ricuh.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sejumlah video beredar di media sosial dan menunjukkan bagaimana personel polisi memukuli massa yang mencoba melarikan diri. Polisi menggunakan meriam air, gas air mata, dan peluru karet untuk membubarkan unjuk rasa.
"Tiga belas petugas polisi dan 20 lainnya terluka,", kata Pusat Medis Erawan dikutip dari Reuters, Ahad, 21 Maret 2021.
Polisi mengatakan mereka terpaksa membubarkan unjuk rasa melanggar aturan pembatasan COVID-19 dan menghina monarki. Wakil Kepala Polisi Bangkok, Piya Tavichai, menuduh pengunjuk rasa yang pertama kali bertindak kasar. "Polisi harus membela hukum dan melindungi harta nasional," katanya.
Pernyataan polisi Thailand ini dibantah oleh para aktivis. "Kekerasan datang dari polisi dulu, menggunakan gas air mata dan meriam air sebelum pengunjuk rasa melakukan sesuatu," kata Rukchanok Srinork, yang turut hadir di demonstrasi kemarin.
Sebelumnya ribuan demonstran Thailand terlibat bentrok dengan polisi saat sedang berunjuk rasa di dekat Istana Raja di Bangkok. Massa mendesak pemerintah membebaskan para aktivis dan menuntut reformasi monarki.
Para pengunjuk rasa berkumpul di dekat istana di Bangkok di daerah yang dikenal sebagai Sanam Luang, atau Royal Field. Ratusan polisi anti huru hara dengan peralatan lengkap mendorong demonstran agar menjauh dari Grand Palace.
Demonstrasi terjadi setelah parlemen pekan ini gagal mengesahkan RUU untuk menulis ulang konstitusi yang didukung militer, salah satu tuntutan utama pengunjuk rasa. Pattanacharoen mengatakan bahwa protes itu ilegal dan melanggar undang-undang untuk menahan penyebaran virus corona.
Gerakan protes pemuda Thailand sejauh ini merupakan tantangan terbesar bagi Perdana Menteri Prayut Chan-o-cha. Para pengunjuk rasa mengatakan dia merekayasa proses pemilihan sehingga membuatnya tetap berkuasa setelah pemilu 2019. Prayut menampik kabar ini.
Para pengunjuk rasa juga melanggar tabu tradisional dengan menuntut reformasi monarki. Mereka menilai konstitusi yang dirancang oleh militer setelah kudeta 2014 memberi Raja Thailand terlalu banyak kekuasaan.
Sumber: REUTERS