Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta -Kematian Ratu Elizabeth II telah memicu curahan belasungkawa dari seluruh dunia. Namun, di beberapa negara bekas koloni, muncul pertanyaan tentang masa depan monarki setelah naiknya Charles menggantikan sang ibunda.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Aksesi Raja Charles III ke takhta Inggris misalnya telah memperbarui seruan dari para politisi dan aktivis di Karibia untuk mencopotnya sebagai kepala negara mereka.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Persemakmuran atau dalam bahasa Inggris disebut 'Commonwealth' adalah asosiasi politik dari 56 negara yang sebagian besar bekas koloni Inggris.
Asosiasi sukarela ini mencakup 2,5 miliar orang di seluruh dunia. Togo dan Gabon menjadi anggota terbaru tahun ini, meskipun tidak pernah berada di bawah kekuasaan Inggris.
14 dari 56 negara di wilayah persemakmuran masih mempertahankan Raja Charles sebagai raja mereka. Selain Inggris, negara-negara tersebut termasuk Antigua dan Barbuda, Australia, Bahama, Belize, Kanada, Grenada, Jamaika, Selandia Baru, Papua Nugini, Saint Kitts dan Nevis, Saint Lucia, Saint Vincent dan Grenadines, Kepulauan Solomon, dan Tuvalu.
Negara-negara lain menjadi merdeka setelah Ratu Elizabeth II naik takhta pada 1952. Banyak yang telah meninggalkan monarki, tetapi sebagian melihat Persemakmuran sebagai cara untuk menyatukan berbagai negara.
Ketika pertemuan puncak pada 2018, para pemimpin Persemakmuran menegaskan bahwa Charles akan mengikuti jejak sang ibunda sebagai kepala organisasi ketika Ratu meninggal.
Namun, seruan untuk perubahan tumbuh di tengah wilayah Persemakmuran. Setelah Charles dikukuhkan sebagai raja, beberapa negara telah menyatakan minatnya untuk menjadi republik, seperti Antigua dan Barbuda, Jamika, Saint Vincent dan Grenadines.
Tak lama setelah Charles diresmikan sebagai raja Antigua dan Barbuda, Perdana Menteri Gaston Browne merencanakan referendum republik dalam tiga tahun ke depan.
Negara yang Menuntut Perubahan
"Ini bukan tindakan permusuhan atau perbedaan antara Antigua dan Barbuda dan monarki, tetapi ini adalah langkah terakhir untuk menyelesaikan lingkaran kemerdekaan itu," kata Perdana Menteri Gaston Browne kepada penyiar ITV News.
Seruan untuk perubahan juga berkembang di Jamaika. Perdana Menteri Andrew Holness mengatakan kepada putra Charles, William, pada Maret lalu bahwa negara itu "bergerak" sebagai negara merdeka. Sebuah survei Agustus menunjukkan 56 persen orang Jamaika mendukung penghapusan raja Inggris sebagai kepala negara.
Di Saint Vincent dan Grenadines, Perdana Menteri Ralph Gonsalves mengusulkan referendum pada Juli, tetapi mengatakan dia hanya akan mengejarnya jika ada dukungan bipartisan. Para bangsawan Inggris telah mengatakan bahwa mereka tidak akan menghalangi jalannya.
“Saya ingin mengatakan dengan jelas, seperti yang telah saya katakan sebelumnya, bahwa pengaturan Konstitusional setiap anggota, sebagai republik atau monarki, adalah murni masalah yang harus diputuskan oleh setiap negara anggota,” kata Charles pada pertemuan puncak Persemakmuran pada Juni 2022.
Negara yang Ingin Bertahan
Sejauh ini, Australia, Kanada, Selandia Baru, Papua Nugini, Kepulauan Solomon, Tuvalu menyatakan kesetiaannya kepada Kerajaan Inggris.
Perdana Menteri Selandia Baru Jacinda Ardern mengatakan pada Senin, 12 September 2022, bahwa pemerintahnya tidak akan menjadi republik setelah kematian Ratu Elizabeth II. Ardern menyebut Selandia Baru pada akhirnya akan menjadi republik, dan itu mungkin akan terjadi dalam hidupnya, tetapi ada masalah yang lebih mendesak bagi pemerintahannya.
Di Kanada, Perdana Menteri Justin Trudeau pada Sabtu, 10 September 2022, menegaskan kesetiaan negara itu kepada raja baru.
"Atas nama Pemerintah Kanada, kami menegaskan kesetiaan kami kepada raja baru Kanada, Yang Mulia Raja Charles III, dan menawarkan dukungan penuh kami kepadanya," kata Trudeau.
Perdebatan mengenai sistem kenegaraan di Australia selalu menjadi topik yang hangat. Jajak pendapat selama bertahun-tahun menunjukkan dukungan yang hampir sama untuk kaum monarki dan republik.
Australia mengadakan referendum untuk menjadi republik pada 1999. Pemilih yang setia pada Persemakmuran menang tipis. Ketika ditanya dalam sebuah wawancara radio apakah kematian Ratu membawa Australia lebih dekat menjadi sebuah republik, Perdana Menteri Anthony Albanese mengatakan ini bukan waktunya untuk membicarakannya.
Para pemimpin di Papua Nugini, Kepulauan Solomon dan Tuvalu telah menyatakan dukungan mereka untuk monarki dalam beberapa hari terakhir.
Sikap Negara Lain
Sementara, 5 dari 17 negara Persemakmuran yang tersisa, Bahama, Belize, Grenada, Saint Kitts and Nevis, dan Saint Lucia juga masih memperdebatkan mengenai ini.
Barbados pada 2021 ingin menurunkan Ratu sebagai kepala negara dan mungkin saja wacana ini terus diikuti. Di Bahama, setelah kunjungan Duke dan Duchess of Cambridge, Perdana Menteri Phillip Davis mengatakan dia berharap bahwa selama perayaan peringatan 50 tahun kemerdekaan akan ada pembahasan soal identitas negara.
Di Grenada, orang-orang juga mempertanyakan peran mahkota di negara itu. Arley Grill, ketua Komite Reparasi Nasional Grenada, mengatakan awal tahun ini bahwa monarki telah kehilangan “relevansi dan signifikansinya.” Pada April lalu, Saint Kitts dan Nevis juga menunjukkan niat mereka untuk merevisi hubungan dengan monarki.
“Kemajuan beberapa dekade telah mengajarkan kita bahwa waktunya telah tiba bagi St Kitts dan Nevis untuk meninjau sistem pemerintahan monarkinya dan memulai dialog untuk maju ke status baru,” Shawn Richards, wakil perdana menteri, mengatakan.
Dan di Saint Lucia, ada juga desakan untuk menjadi republik sebelum Charles naik takhta. Pada April, mantan Perdana Menteri Allen Chastanet mengatakan dia mendukung seruan itu. “Saya yakin, seperti banyak orang lain, sudah tiba saatnya untuk membuat perubahan itu menjadi republik,” katanya.
AL JAZEERA