Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Kuba, negara sosialis di benua Amerika, memiliki pemimpin baru sekaligus menandai berakhirnya era klan Castro, yang berkuasa di negara itu selama lebih dari 5 dekade.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Majelis Nasional Kuba memilih Miguel Diaz-Canel sebagai presiden baru dan wajah masa depan negara pulau itu. Miami Herald melansir Diaz-Canel menggantikan Raul Castro, yang resmi lengser pada Kamis, 19 April 2018 waktu setempat, setelah sempat berkuasa selama sekitar sepuluh tahun. Raul menggantikan abangnya, Fidel Castro, yang kemudian meninggal pada 2016. Fidel sempat memimpin Kuba selama sekitar 52 tahun dengan ideologi komunis.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
“Manda yang diberikan rakyat kepada majelis ini adalah melanjutkan revolusi Kuba pada saat momen bersejarah yang krusial ini,” kata Diaz-Canel, 57, dalam pidatonya di Majelis Nasional Kuba, setelah terpilih menjadi Presiden, Kamis, 19 April 2018 seperti dilansir Reuters.
Diaz-Canel, 57 tahun, yang sebelumnya menjabat wakil Presiden akan memimpin era baru berakhirnya kekuasaan Castro bersaudara, yang telah memimpin negeri di Amerika Latin ini sejak revolusi 1959.
Presiden baru terpilih Kuba, Miguel Diaz-Canel dan pendulunya, Raul Castro, di ruang Balai Nasional. Reuters/Falexandre Meneghini
Berbeda dengan Castro yang anti-Barat, Diaz-Canel yang lebih muda terlihat tidak terlalu bermasalah dengan budaya lebih liberal. Setidaknya itu terlihat dari cara ia berpakaian dan gaya hidupnya.
Diaz - Canel mengenakan jins dan bukan pakaian bercorak militer, menyukai lagu rock n roll, kerap terlihat membawa komputer tablet dan memiliki akun Facebook, meskipun unggahan tampak dikelola melalui saluran resmi.
Diaz-Canel, seorang insinyur listrik dan birokrat karir, memiliki ikatan kuat dengan Castro bersaudara. Saat muda, dia bergabung dalam dinas militer, yang menjaga keamanan kepada Fidel dan Raul.
Karir politik Diaz-Canel dimulai ketika dia bergabung dalam Union of Young Communists, sayap pemuda partai komunis Kuba.
Sejak itu karirnya berganti-ganti antara jabatan manajerial senior, termasuk menteri pendidikan tinggi, dan dipercayakan memegang jabatan penting di partai. Dari tahun 1994 hingga 2003, Diaz-Canel adalah salah satu kelompok kecil pemimpin partai regional yang berpengaruh, pertama di provinsi Villa Clara, Kuba tengah dan kemudian di provinsi Holguín di timur negara itu.
Diaz-Canel salah satu petinggi partai komunis yang dikagumi warga Kuba berkat kinerjanya yang memuaskan. Dia kadang-kadang muncul di bar lokal untuk berbagi bir dan lelucon bersama warga sipil biasa.
Dan ketika Uni Soviet runtuh pada awal 90-an, yang membuat ekonomi Kuba langsung ambruk, Diaz-Canel memenangkan popularitas karena meninggalkan fasilitas pemerintahnya. Mobil plat merahnya ditinggalkan dan lebih memilih naik sepeda, mengingat saat itu bahan bakar minyak mahal dan langka di Kuba.
Saat kelangkaan listrik melanda Kuba, dia berkeliling untuk meminta maaf kepada warga. Termasuk kepada Guillermo Fariñas, pembangkang Kuba yang dikagumi dan sempat dirawat di rumah sakit karena mogok makan terhadap pemerintah.
“Dia mengatakan halo dan bertanya tentang kesehatan saya,” kata Fariñas yang bingung saat itu.
Diaz-Canel suka mengobrol dengan siapa saja, tentu termasuk wanita. Dia dijuluki sebagai el lindo, si imut, dan secara konsisten digambarkan oleh beberapa orang sebagai pria yang beruntung dalam percintaan.Dia menikahi Liz Cuesta, seorang pejabat pariwisata, yang sering difoto dengannya di acara-acara resmi. Ini menandai perubahan penting dari pernikahan Fidel Castro, yang praktis merupakan rahasia negara selama berdekade berkuasa.
Dia juga lebih terbuka terhadap jurnalis dan media, berbeda dengan pejabat komunis lainnya yang kerap tertutup.
Diaz-Canel, pada kenyataannya, adalah pembaca setia dari koran-koran yang dikontrol ketat di negara itu. Dia sering mengundang wartawan di sepanjang perjalanannya ke pedesaan dan kadang-kadang memanggil mereka untuk menyarankan tentang informasi apa yang baik untuk dibagikan ke publik.
Minatnya melampaui jurnalisme ke seni; dia mempromosikan festival musik rock dan pertunjukan seni ketika banyak pejabat partai masih menganggap peristiwa seperti itu merusak anak muda dan mungkin subversif.
Namun, dia tetap berpatron pada manifesto politik partai komunis dan menjunjung tinggi Bapak Revolusi Kuba, Fidel Castro.
Sejak diangkat jadi wakil Presiden pada 2013, Diaz-Canel dalam pidato-pidatonya, tetap dipenuhi dengan jargon Marxis dan slogan-slogan revolusioner serta tetap memuji penguasa Kuba bahkan ketika tampil di luar negeri.
Dalam beberapa tahun terakhir, Diaz-Canel telah melintas tidak hanya Kuba tetapi seluruh dunia sebagai lambang arah politik baru Kuba. Dari pertemuan perubahan iklim di Paris hingga pertemuan di Pyongyang dengan diktator Korea Utara Kim Jong Un, ia telah melintasi pusat kekuatan dunia dan meluangkan waktu dengan para pemimpin asing.
Dia juga diketahui sebagai politisi Kuba yang tidak terlalu keras terhadap musuh utama negara komunis itu, Amerika Serikat.
Sebuah video yang bocor dari pertemuan pejabat partai terlihat Diaz-Canel mengatakan agar Amerika Serikat mencabut embargo dan pembatasan lain terhadap Kuba untuk menormalisasi hubungan kedua negara itu.
Peralihan kekuasaan pada pekan ini di Kuba melambangkan peluang bagi AS untuk kembali terlibat. Diaz-Canel berasal dari generasi muda yang lebih berteknologi tinggi yang ingin Kuba menjadi bagian dari dunia yang saling berhubungan. Diaz-Canel secara pribadi telah memperjuangkan perluasan internet di Kuba dan menyerukan lebih banyak transparansi pemerintah.
Meskipun demikian, beberapa pengamat mengatakan dia tidak akan membawa banyak perubahan pada Kuba.
Brian Lattell, mantan kepala Analisis Amerika Latin di CIA dan penulis biografi Raúl Castro, mengatakan Diaz-Canel adalah manajer bukan seorang visioner sehingga tidak mungkin untuk memperkenalkan perubahan besar di Kuba bahkan jika secara politik memungkinkan.
“Dia mendapatkan pekerjaan karena dia adalah seorang apparatchik; ia setia kepada Raúl, ” kata Lattell, seperti dilansir Miami Herald pada 19 April 2018.
Kebijakannya juga kemungkinan tidak akan berubah dari sebelumnya, mengingat Raul Castro tetap menjabat sebagai pemimpin Partai Komunis Kuba.