Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Warisan Donald Trump adalah politik populisnya yang membuat Amerika Serikat terpolarisasi. Gerakan ekstremis sayap kanan, populisme, dan teori konspirasi, meningkat semasa kepresidenan Donald Trump. Dari ketiganya, ideologi sayap kanan ekstrem yang naik ke tingkat berpengaruh hingga menciptakan perpecahan di antara warga Amerika.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Peraih Nobel Ekonomi Paul Krugman dan Sejarawan Niall Ferguson mengatakan kepada CNBC bahwa Trumpisme, gaya pemerintahan populis Trump, tetap membekas meski Donald Trump tidak lagi duduk di Oval Office.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Trump akan membayangi partainya dan panggung politik AS," kata Paul Krugman, seorang profesor ekonomi di Pusat Pascasarjana Universitas Kota New York.
Sayap kanan ekstrem telah melekat dengan Donald Trump. Ketika Joe Biden dipastikan memenangkan pemilu AS, anggota Proud Boys berunjuk rasa menentang hasil pemilu AS dalam aksi MAGA "Make America Great Again" bersama dengan kelompok pendukung Trump lain. Anggota Proud Boys dikenal sebagai kelompok ekstremis sayap kanan pendukung setia Trump.
Donald Trump sendiri, ketika debat Pilpres Amerika, entah sadar atau tidak menunjukkan keberpihakannya kepada Pouod Boys. Ketika ditantang untuk mengecam aksi Proud Boys oleh Joe Biden, ia malah meminta mereka siaga.
Gerakan sayap kanan lain adalah QAnon. QAnon mengulas teori konspirasi yang mempercayai Trump sebagai juru selamat dari elit politik Demokrat yang mereka klaim bobrok dan para sekutu "Deep State".
Armada sayap kanan Donald Trump tidak hanya berupa kelompok-kelompok konservatif. Dia juga memiliki media yang mendukungnya. Dulu, media itu adalah Fox News yang dimiliki oleh taipan Rupert Murdoch. Sekarang berbeda. Mereka pecah kongsi walaupun Fox News tetap condong ke kelompok kanan.
Perpecahan itu dipicu pengumuman pemenang hasil Pilpres Amerika. Fox mengiyakan kemenangan Joe Biden, sesuatu yang sampai sekarang masih tidak diakui oleh Donald Trump. Trump yang kecewa kemudian mendekati Newsmax. Newsmax adalah saluran televisi dan situs web konservatif. Donald Trump ingin menggunakan Newsmax sebagai platform barunya untuk menyampaikan retorika populis kepada pendukungnya. Beberapa bilang sebagai persiapan pilpres Amerika 2024 juga.
New York Times melaporkan, sejak Hari Pemilu, Newsmax telah menjelma menjadi kekuatan yang berkembang di ranah media konservatif. Rating mereka naik. Dari 100 ribu penonton per hari, sekarang mereka memiliki sekitar 1 juta penonton untuk salah satu tayangan populernya, Kelly's Show. Mereka pun menggugat kemenangan Presiden terpilih Joe Biden dan mendukung penolakan Donald Trump untuk menyerah.
Suzie Sri Suparin S. Sudarman, Direktur Pusat Kajian Wilayah Amerika di Universitas Indonesia, mengakui bahwa populisme Donald Trump tetap membekas. Namun, menurutnya, hal itu tidak akan secara signifikan mempengaruhi pemerintahan Joe Biden.
"Sukses tidaknya pemerintahan Joe Biden akan menentukan sejauh mana ideologi sayap kanan berkembang di AS. Kita tahu pengikut Trump berasal dari kelompok yang mengharapkan perbaikan ekonomi, sementara kaum kapitalis AS menguasai kekayaan yang tidak merata. Dengan pandangan progresif Joe Biden diharapkan bisa meratakan kesejahteraan kepada kelompok-kelompok ini," kata Suzie kepada Tempo, 27 November 2020.
Suzie lebih memilih menekankan pentingnya melihat tokoh-tokoh konservatif yang mengisi Mahkamah Agung dan hasil pemilihan Senat AS. Menurut dia, keduanya akan menentukan mulusnya pemerintahan Joe Biden.
"Trump mungkin akan mencari cara untuk menyuarakan retorikanya kepada pendukung sayap kanannya yang setia, meskipun demikian retorika-retorika ini tidak akan berdampak ketika pemerintahan Joe Biden mengentaskan kemiskinan di Amerika Serikat. Seperti kita ketahui, mayoritas penganut sayap kanan ekstrem atau pendukung setia Donald Trump adalah kaum kulit putih miskin dan marjinal," ujar Suzie.Presiden AS, Donald Trump, dikelilingi sejumlah politikus Partai Republik di Gedung Putih. Reuters
Kepergian Donald Trump sesungguhnya juga berdampak ke partainya. Ia membuat posisi Partai Republik serba salah. Jurnalis peraih Pulitzer, Nicholas Lemann, menjelaskannya lewat tulisan The Republican Identity Crisis After Trump di majalah The New Yorker pada 2 November. Ia membahas apa yang akan terjadi pada Partai Republik setelah kekalahan Donald Trump.
Lemann mengatakan bahwa Partai Republik dalam posisi serba salah bagaimana menempatkan Trump pasca-pemilu. Mereka khawatir mengasingkannya berisiko menghilangkan basis kuat pendukung yang mengkultuskan Trump.
Popularitas Trump yang bertahan, karena tidak ada Partai Republik yang pernah menerima lebih banyak suara dalam pemilihan presiden bersama Trump, berarti membuat Trump akan terus menetapkan agenda dan nada politik konservatif setidaknya untuk beberapa tahun ke depan. Terlebih Donald Trump pernah mengatakan kepada ajudannya bahwa dia ingin maju lagi dalam Pilpres AS 2024.
Kemampuan Trump untuk membangkitkan kaum konservatif akar rumput di seluruh negeri berarti polarisasi akan bertahan. Menurut The Conversation, sudah ada bukti perpecahan di dalam GOP (Republikan) mengenai apakah akan mendukung klaim Trump atas kecurangan pemilu. Banyak yang memilih untuk tetap diam daripada memihak.
Meskipun menjadi partai yang membebaskan orang Afrika-Amerika dari perbudakan setelah Perang Sipil, saat ini kaum Republikan tetap diisi simpatisan kulit putih dan bercorak pedesaan.
Jika Partai Republik tidak dapat menjangkau pemilih yang lebih beragam, hal ini menciptakan iklim di mana konservatisme yang dibawa Donald Trump akan berubah ke arah yang lebih ekstrem. Pada akhirnya, pengaruhnya tidak hilang dari Amerika.
Sumber:
https://thehill.com/homenews/house/526740-new-rsc-chairman-sees-trumpism-as-future
https://www.cnbc.com/2020/11/11/paul-krugman-says-trump-will-loom-over-us-politics-for-some-time.html
https://www.newyorker.com/magazine/2020/11/02/the-republican-identity-crisis-after-trump
https://theconversation.com/whats-next-for-the-republicans-after-trump-here-are-5-reasons-for-pessimism-and-5-reasons-for-hope-149526