Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Pendapat

Ancaman People Power Amien Rais

Politikus gaek Amien Rais kembali melontarkan pernyataan yang kontroversial.

4 April 2019 | 07.30 WIB

Ketua Dewa Kehormatan Partai Amanat Nasional Amien Rais hadir di lokasi finish Jalan Sehat Relawan Roemah Djoeang di Lapangan Banteng, Jakarta Pusat, Sabtu, 2 Februari 2019. Tempo/Budiarti Utami Putri
Perbesar
Ketua Dewa Kehormatan Partai Amanat Nasional Amien Rais hadir di lokasi finish Jalan Sehat Relawan Roemah Djoeang di Lapangan Banteng, Jakarta Pusat, Sabtu, 2 Februari 2019. Tempo/Budiarti Utami Putri

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Bagong Suyanto
Guru Besar FISIP Universitas Airlangga

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Politikus gaek Amien Rais kembali melontarkan pernyataan yang kontroversial. Alih-alih memperlihatkan sikap yang bijaksana untuk mengurangi tensi politik yang merambat naik menjelang pemilihan umum, Ketua Dewan Kehormatan Partai Amanat Nasional ini justru menyatakan akan menggelar aksi people power ketimbang mengadukan adanya kemungkinan terjadinya praktik curang dalam pemilu ke Mahkamah Konstitusi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Di hadapan para pendukungnya dalam acara Apel Siaga Umat 313 di Jakarta Pusat yang digelar untuk mencegah kecurangan pemilu, Amien mengancam akan menggerakkan massa bila terjadi kecurangan. Meski Amien menjamin tidak akan terjadi tindak kekerasan atau kerusuhan bila nanti massa memprotes keputusan Komisi Pemilihan Umum, pernyataan politikus senior ini segera memantik berbagai reaksi sejumlah pihak.

Berbeda dengan aksi revolusi yang acap kali diwarnai pertumpahan darah, Amien menjanjikan aksi people power yang dia gagas steril dari kemungkinan itu. Tidak akan ada setetes pun darah yang tertumpah. Demikian pernyataan Amien tatkala melontarkan gagasannya di hadapan massa salah satu kontestan pemilu.

Entah apa yang mendasari Amien melontarkan pernyataan yang kontroversial itu. Selain didasari ketidakpercayaan pada pelaksanaan dan mekanisme pengawasan pemilu yang dikhawatirkan akan diwarnai praktik curang, Amien Rais melakukan hal itu sepertinya karena terjebak pada romantisme peran masa lalunya ketika terlibat sebagai tokoh reformasi yang memiliki andil dan berhasil menurunkan pemerintahan Orde Baru.

Kita tentu tahu bahwa Amien telah tercatat dalam sejarah sebagai salah satu tokoh reformasi yang berjasa mendorong terjadinya perpindahan kekuasaan dari pemerintah Orde Baru yang otoriter ke pemerintahan baru di era yang lebih terbuka. Dengan berkaca dari pengalamannya itulah Amien tampaknya membayangkan akan dapat melakukan hal yang sama sekarang.

Berdasarkan pengalaman yang terjadi di berbagai negara, aksi people power sering kali memang efektif untuk menarik perhatian publik dan ujung-ujungnya menjatuhkan pemimpin politik, atau paling tidak menggoyahkan kemapanan. Di sejumlah negara, seperti Mesir dan Irak, aksi people power yang masif telah terbukti efektif sebagai sarana untuk memformulasikan tujuan gerakan, kemudian menggulingkan pemimpin yang dinilai otoriter, korup, dan kejam.

Masalahnya, apakah Indonesia saat ini memiliki profil seperti negara-negara yang dipimpin oleh presiden yang otoriter? Berbeda dengan sejumlah negara yang pemimpinnya dapat digulingkan karena tekanan people power, Indonesia selama hampir dua dekade terakhir harus diakui memiliki perkembangan yang berbeda, yang cenderung makin demokratis.

Meskipun masih ada berbagai persoalan yang perlu dibenahi untuk memastikan proses demokratisasi benar-benar berjalan, sebagai sebuah bangsa dan negara, harus diakui Indonesia telah berhasil membangun kehidupan berdemokrasi yang makin baik. Berkat partisipasi masyarakat dari bawah yang makin terbuka dan meningkatnya sikap kritis masyarakat, penyelenggaraan pemerintahan saat ini tidak lagi bisa dilakukan hanya berdasarkan pendekatan yang represif dan membungkam suara rakyat. Saat ini, ketika kekuasaan makin terfragmentasi dan masyarakat juga semakin kritis terhadap kesewenang-wenangan, rasa-rasanya sulit bagi siapa pun pemimpinnya untuk bertindak otoriter.

Pemimpin yang otoriter justru besar kemungkinan akan ditinggalkan pendukungnya. Pemimpin yang menjalankan kekuasaan secara absolut dan tidak memberi kesempatan pada hak-hak politik rakyat niscaya akan kehilangan legitimasinya, dan karena itu tidak lagi berwibawa. Dalam konteks seperti ini, gagasan Amien Rais untuk melakukan aksi people power bukan saja tidak relevan, tapi juga berbahaya.

Sebagai negara yang demokratis dan jauh dari karakter otoriter, Indonesia dewasa ini telah banyak berbenah. Praktik curang dalam pemilu dan tindakan penyalahgunaan kekuasaan niscaya tidak akan lagi dapat dilakukan secara masif.

Bahwa dalam pelaksanaan dan proses berdemokrasi masih ditemui sejumlah pelanggaran, tentu hal itu tidak mungkin dapat 100 persen dihindari. Meski demikian, itu sama sekali bukan alasan bagi kelompok oposan mana pun untuk menggelar aksi people power.

Gagasan Amien Rais menggelar aksi people power jika ditemukan praktik curang dalam pemilu sah-sah saja dilontarkan sebagai sebuah bentuk peringatan. Namun pemilihan terminologi tersebut riskan akan membawa bangsa ini ke masa depan yang menyengsarakan rakyat. Tentu akan lebih baik apabila hal semacam ini dihindari para elite politik yang memiliki kebajikan.

Sebagai negara yang dibangun berdasarkan hukum, kita seyogianya menyadari bahwa koridor bagi penyelesaian berbagai konflik yang terjadi di masyarakat, termasuk konflik politik, telah disediakan lembaga, dan mekanismenya dijamin undang-undang. Kehadiran Mahkamah Konstitusi, lembaga internasional, dan lembaga lain bisa dijadikan saluran untuk menyampaikan keluhan dan menyelesaikan konflik. Tentu tidak elok jika mereka dinafikan hanya karena syak wasangka.

Siapa pun tokoh atau elite politik yang terlibat dalam kontestasi politik, alangkah baiknya jika mereka menjadi role model dan mampu memilih diksi politik yang menyejukkan. Pengalaman kelam berbagai negara lain, yang hingga saat ini masih harus berkutat dengan konflik internal dan pertikaian yang tidak berkesudahan, seharusnya menjadi rujukan bagi siapa pun sebelum melontarkan pernyataan yang berpotensi memecah-belah persatuan dan kesatuan bangsa.

Bagong Suyanto

Dekan FISIP Universitas Airlangga

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus