Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Pendapat

Di Bawah Kuasa Preman

Preman masih terlibat dalam urusan pengamanan yang seharusnya menjadi tanggung jawab polisi. Negara tidak boleh kalah oleh preman.

1 Agustus 2020 | 07.25 WIB

Sejumlah tersangka yang dihadirkan saat rilis kasus premanisme oleh kelompok John Kei di Polda Metro Jaya, Jakarta, Senin, 22 Juni 2020. Akibat penyerangan, seorang satpam terluka karena tertabrak dan seorang pengemudi ojek online menderita luka tembak di bagian jempol. TEMPO/Muhammad Hidayat
Perbesar
Sejumlah tersangka yang dihadirkan saat rilis kasus premanisme oleh kelompok John Kei di Polda Metro Jaya, Jakarta, Senin, 22 Juni 2020. Akibat penyerangan, seorang satpam terluka karena tertabrak dan seorang pengemudi ojek online menderita luka tembak di bagian jempol. TEMPO/Muhammad Hidayat

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

KEBERADAAN preman dalam berbagai aspek kehidupan di Indonesia adalah cermin bobroknya sistem hukum kita. Polisi yang tak selalu hadir membuka ruang bagi preman untuk main hakim sendiri. Hukum yang tak diterapkan adil membuat jasa mereka terus dicari. Penjara yang tidak membuat jera menjadikan preman makin merajalela.

Di banyak kota besar, jejaring preman bersaing dalam bisnis jasa pengamanan lahan sengketa, penyewaan lahan parkir liar, pengamanan tempat hiburan, hingga penagihan utang. Kelompok-kelompok tersebut menggunakan kekerasan buat menyelesaikan masalah dan saling terkam untuk menjadi jawara di dunia bawah tanah.

Kehadiran mereka seolah-olah sudah menjadi bagian dari kehidupan kita sehari-hari dan baru dipersoalkan kembali ketika ada kasus besar yang menarik perhatian. Di antaranya ketika kelompok John Kei—salah satu grup preman besar di Jakarta—menyerang kelompok Nus Kei, pamannya sendiri, di Tangerang dan Jakarta Barat pada Juni lalu. Tindak kekerasan yang diduga dipicu sengketa pembagian uang hasil penjualan tanah di Ambon itu merenggut satu nyawa.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Bentrokan antarpreman semacam itu tentu bukan yang pertama. Kasus ini menjadi menarik justru karena terus berulang. Keberanian kelompok preman untuk saling serang di siang bolong, di tengah permukiman warga, lagi-lagi menunjukkan ketidakberdayaan sistem hukum kita dalam mengendalikan para mafia lokal ini. Dibui berulang kali pun bukan hal yang menakutkan bagi preman, tapi justru menjadi ajang naik kelas dan pembuktian diri. Para gembong preman bahkan dapat hidup nyaman di penjara sembari tetap menjalankan bisnis dari balik terali besi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Eksistensi preman di Indonesia memang bisa dilacak sejak zaman kolonial Belanda. Keberadaan preman memuncak pada era Orde Baru, ketika mereka kerap dimanfaatkan untuk melancarkan kepentingan politik penguasa, termasuk menggembosi lawan-lawan pemerintah. Setelah reformasi 1998, meski tidak lagi melekat pada kekuasaan, kelompok preman masih kerap mendapat proyek politik atau ekonomi yang cukup mendatangkan fulus. Mereka cukup efektif untuk memobilisasi massa menjelang pemilihan umum ataupun pemilihan kepala darah atau menggelar aksi unjuk rasa bayaran.

Zaman sekarang, para preman sudah punya bendera organisasi kemasyarakatan resmi, dengan afiliasi politik tertentu dan kedekatan dengan kelompok pengusaha. Mereka bisa hadir dalam acara formal, bahkan berjabatan tangan dengan pejabat publik.

Makin normalnya eksistensi preman dalam panggung publik kita menunjukkan makin berantakannya norma hukum di negeri ini. Soalnya, preman hanya bisa eksis sepanjang masih ada praktik ilegal di bidang sosial, politik, dan ekonomi. Jasa perlindungan yang mereka tawarkan akan selalu laku selama warga tak percaya terhadap penegakan hukum. Preman bisa disewa untuk merebut aset orang lain, menagih utang, atau menyerang pesaing. Sepanjang hukum dinilai tak adil atau jauh dari jangkauan, keberadaan preman akan selalu relevan.

Itulah yang menyuburkan bisnis premanisme selama bertahun-tahun. Para jagoan bisa berganti, tapi esensi mereka tak memudar. Hercules dan kelompoknya, misalnya, menguasai Pasar Tanah Abang pada awal 1990-an sebelum disingkirkan kelompok Muhammad Yusuf Muhi alias Ucu Kambing pada 1996. Hercules lalu bergeser ke wilayah Jakarta Barat. Adapun John Kei menguasai sejumlah kawasan gelap di Ibu Kota.

Kunci untuk mengakhiri kejayaan preman ada pada penegakan hukum. Sistem peradilan kita tak boleh membiarkan preman mengambil alih tugas menjamin keamanan masyarakat. Hanya dengan cara itu, negara bisa menang melawan preman.

Ali Umar

Ali Umar

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus