Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Bayu Samodro
Deputi Direktur Pasar Modal OJK
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Peran usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) di Indonesia selama ini sudah sangat diakui dalam membangun ekonomi rakyat dan menjaga kekuatan stabilitas ekonomi nasional yang rentan dari pengaruh global. Data Kementerian Koperasi dan UKM menunjukkan skala kegiatan ekonomi UMKM mampu memberikan kontribusi lebih dari 60 persen terhadap produk domestik bruto dan mampu menyerap hampir 97 persen tenaga kerja nasional.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Namun UMKM masih mengalami banyak kesulitan untuk berkembang. Salah satu faktornya adalah kurangnya akses terhadap sumber-sumber pembiayaan yang mudah, murah, dan fleksibel.
Otoritas Jasa Keuangan pada akhir 2018 telah menerbitkan Peraturan OJK Nomor 37 Tahun 2018 tentang Layanan Urun Dana Melalui Penawaran Saham Berbasis Teknologi Informasi. Layanan urun dana atau equity crowdfunding (ECF) merupakan salah satu jenis penggalangan dana melalui Internet yang melibatkan banyak individu dengan tujuan membiayai suatu usaha, proyek, atau kebutuhan lain. Selama September-November 2019, OJK telah mengeluarkan dua perizinan layanan urun dana bagi PT Santara Daya Inspiratama (Santara) dan PT Investasi Digital Nusantara (Bizhare).
ECF didefinisikan sebagai penyelenggaraan penawaran saham secara langsung kepada pemodal yang dilakukan oleh penerbit melalui jaringan sistem elektronik yang bersifat terbuka. Namun penawaran ini tidak termasuk penawaran umum sebagaimana dimaksudkan dalam Undang-Undang Pasar Modal sepanjang dilakukan melalui platform ECF yang berizin, dilakukan dalam jangka maksimum 12 bulan, dan total dana yang dihimpun maksimum Rp 10 miliar.
Prosedurnya lebih sederhana dan mudah dibanding penawaran umum saham konvensional. Beberapa kemudahannya adalah biaya penerbitan yang lebih murah, tidak wajib menggunakan lembaga penjamin emisi efek, dan laporan berkala lebih sederhana.
Di beberapa negara, ECF mampu berkembang menjadi salah satu layanan jasa keuangan yang cukup menarik bagi UMKM dan tumbuh pesat dalam satu dekade terakhir. Di Cina, ECF berkembang dengan cukup pesat, dari 32 platform dengan total pembiayaan US$ 145 juta pada 2014 menjadi 144 platform dengan total pembiayaan mencapai US$ 522 juta pada 2016. Di Inggris, negara pelopor ECF, jumlah platform yang berdiri sejak 2011 hingga 2015 mencapai 23 platform dengan total pembiayaan pada 2015 sebanyak US$ 426 juta.
Di Indonesia, dalam waktu relatif singkat, Santara telah menyalurkan pembiayaan kepada UMKM dengan total nilai Rp 11,8 miliar. Dari lebih 4.000 proposal usaha yang masuk, hanya 17 bisnis yang dinyatakan layak memperoleh pendanaan, yang meliputi usaha perkebunan, peternakan, perikanan, restoran, dan perhotelan. Mayoritas pembiayaan digunakan untuk ekspansi dan penguatan lini usaha.
Adapun Bizhare sudah menyalurkan pendanaan kepada 21 UMKM dengan total nilai mencapai Rp 11,1 miliar dan melibatkan hampir seribu investor. Dengan berfokus pada bisnis UMKM dan franchise, calon investor dapat menjadi investor aktif yang juga ikut mengelola UMKM atau menjadi investor pasif yang pengelolaannya diserahkan kepada pemilik UMKM. Beberapa bidang usaha yang menjadi sasaran adalah kuliner, pendidikan, minimarket, jasa, dan peternakan.
Berdasarkan data OJK, hingga saat ini sudah terdapat 12 perusahaan (pipeline) yang mengajukan perizinan layanan ECF. Melihat tren perkembangan dan animo UMKM yang cukup menggembirakan dalam beberapa bulan terakhir, diharapkan ke depan lebih banyak lagi izin yang dapat dikeluarkan OJK bagi penyedia layanan ECF.
Namun ada beberapa tantangan yang harus diperhatikan dalam mendorong kesuksesan pembiayaan UMKM. Pertama, upaya memasyarakatkan konsep ECF. Hasil survei tingkat literasi dan inklusi keuangan masyarakat pada 2019 tercatat masing-masing 38,03 persen dan 76,19 persen, dengan sektor pasar modal baru mencapai 4,9 persen dan 1,55 persen. Maka, diperlukan kerja sama dengan semua pemangku kepentingan, baik pemerintah maupun swasta, untuk mensosialisasi instrumen baru ini.
Kedua, pendampingan yang efektif bagi UMKM. Belajar dari pengalaman Santara dan Bizhare, isu pendampingan memang menjadi hal utama yang harus menjadi perhatian para pemangku kepentingan, khususnya pengelola platform ECF. Sebab, banyak UMKM yang belum berbadan hukum dan memiliki tata kelola keuangan yang baik.
Ketiga, perlindungan bagi investor, khususnya dalam transaksi pasar sekunder. Jika nantinya dibuka transaksi di pasar sekunder, investor retail ECF perlu dilindungi dari transaksi spekulatif yang menyebabkan volatilitas harga atau bahkan manipulasi harga tapi tanpa menghilangkan hak untuk mendapatkan likuiditas.
Hal-hal tersebut tentunya tidak harus menjadi hambatan bagi kita untuk terus maju. Justru diharapkan para pemangku kepentingan, baik regulator maupun pelaku pasar, bisa mengantisipasi agar instrumen ECF dapat berdaya dan berhasil guna, sehingga cita-cita untuk mendorong peningkatan UMKM sekaligus meningkatkan inklusi keuangan masyarakat dapat tercapai dengan baik.