Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Bandung - Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Hendra Gunawan, memperingatkan potensi bahaya Gunung Semeru. “Dari aktivitas visual dan kegempaan relatif monoton, masalah Gunung Semeru adalah kubah lava yang ada di puncak,” kata dia, Jumat, 16 Februari 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Gunung Semeru pernah mengejutkan dengan peristiwa luncuran material piroklastik hingga 16 kilometer pada tahun 4 Desember 2021 yang mengakibatkan korban jiwa. Pada tahun 2022 juga sempat terjadi luncuran awan panas hingga menembus 11 kilometer dari puncak gunung tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Kita belajar dari historis Gunung Semeru ini gunung yang paling aktif, jadi bahayanya permanen dan sifatnya bisa mendadak,” kata Hendra.
Hendra mengatakan pada peristiwa luncuran awan panas hingga 11 kilometer tersebut berkaitan dengan runtuhnya kubah lava. Saat itu tidak terpantau perubahan signifikan pada aktivitas kegempaannya. “Tahun 2022 itu kubah lava bisa mencapai tinggi 300 meter dari dasar kawah,” kata dia.
Hendra mengatakan selepas peristiwa luncuran awan panas tahun 2022 tersebut, kubah lava di kawah Gunung Semeru tersisa sepertiganya. Namun, pada pemantauan visual terakhir sudah tumbuh hampir mencapai setengahnya.
Belum lama terjadi luncuran awan panas di Gunung Semeru hingga mencapai jarak 1.500 meter. Mirip dengan peristiwa tahun 2022, luncuran awan panas itu tidak disertai kenaikan aktivitas kegempaan yang signifikan. Hendra meyakini hal pertumbuhan kubah lava dengan luncuran awan panas yang terjadi memiliki korelasi.
“Ini terbukti pada 9 Februari 2024 terjadi awan panas 1.500 meter. Ada yang berpendapat curah hujan berperan. Di antara ahli gunung api masih ada perdebatan apakah ini akibat curah hujan atau tingginya kubah lava sehingga mengakibatkan jarak luncuran awan panas,” kata Hendra.
Hendra mengatakan PVMBG belum lama melakukan modernisasi peralatan pemantauan Gunung Semeru. Dari peralatan baru yang dipasang tersebut ditemukan hal baru, kendati masih banyak yang perlu dipelajari.
“Baru sekarang kita dapat gambaran yang terjadi bahwa gempa selama beberapa bulan belakangan ini memang ada sumber magma dari kedalaman 6 kilometer. Dan ini ditunjukkan juga oleh gempa guguran dan jumlah tremor yang meningkat. Sebetulnya parameter tersebut menunjukkan gunung sedang tidak baik-baik saja, hanya yang perlu ditekankan adalah antisipasinya,” kata dia.
Ketua Tim Gunung Api PVMBG Heruningtyas mengatakan, saat ini status aktivitas Gunung Semeru masih dipertahankan berada di Level III atau Siaga. Sejumlah rekomendasi sudah diumumkan mengikuti potensi bahaya akibat aktivitas vulkanik gunung tersebut.
“Adapun pontensi ancaman di sepanjang sungai yang berhulu di Semeru berupa aliran piroklastik atau awan panas dan lahar yang membawa material produk erupsi turun jauh ke wilayah permukiman, sehingga hal ini yang sangat membahayakan penduduk,” kata Heruningtyas Jumat.
PVMBG menerbitkan sejumlah rekomendasi. Di antaranya larangan beraktivitas di sektor tenggara sepanjang 13 kilometer dihitung dari pusat erupsi Gunung Semeru, larangan bagi masyarakat untuk beraktivitas sepanjang 500 meter dari tepian sungai di sepanjang Sungai Kobokan sejauh 17 kilometer dihitung dari puncak gunung karean berpotensi terlanda awan panas, serta larangan agar masyarakat tidak beraktivitas dalam radius 5 kilometer dari pusat erupsi Gunung Semeru karena rawan terhadap lontaran lava pijar atau batu pijar.
“Selanjutnya masyarakat harus mewaspadai adanya potensi awan panas, guguran lava dan lahar di sepanjang lembah yang berhulu di puncak Gunung Semeru khususnya sepanjang Besuk Kobokan, Besuk Kembang, Besuk Sat, serta potensi lahar dari sungai-sungai yang merupakan anak sungai Besuk Kobokan,” kata Heruningtyas.
Heruningtyas mengatakan, PVMBG telah melakukan modernisasi peralatan sebanyak dua kali, diantaranya pada peralatan CCTV, dan GPS. Dari pemantauan peralatan terekam aktivitas kegempaan serta terjadinya inflasi di tubuh gunung api. Dari hasil pemantauan tersebut diperoleh korelasi antara deformasi yang terjadi dengan aktivitas erupsi Gunung Semeru.
“Dari data deformasi memperlihatkan bahwa dari kejadian-kejadian awan panas di Gunung Semeru di awali oleh adanya inflasi atau penggelembungan pada tubuh gunung api. Ini dapat kita lihat dari korelasi antara data seismik dengan data GPS dan juga Tiltmeter,” kata Heruningtyas.
Heruningtyas mengatakan, saat ini aktivitas Gunung Semeru masih di dominasi gempa permukaan yang mengindikasikan aktivitasnya didominasi oleh pengaruh magma aktif di kedalaman dangkal. “Selanjutnya variasi kecepatan seismik menunjukkan nilai yang positif dengan simpangan yang cukup besar dan diinterpretasikan bahwa tekanan atau stres di tubuh gunung masih relatif tinggi dan relatif dangkal,” ujarnya.
Menurutnya, data deformasi memperlihatkan terjadinya inflasi di tubuh gunung api dengan sumber tekanan berlokasi dangkal. “Ini terkorelasikan dengan adanya pemindahan tekanan dari tubuh gunung api yang bersamaan dengan keluarnya material saat terjadinya erupsi dan juga hembusan,” kata dia.
Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram terlebih dahulu.