Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Reaksi Kemenag, KPAI, dan PPPA soal Kasus Dugaan Penganiayaan Santri di Kediri

Kasus dugaan penganiayaan santri di sebuah pondok pesantren di Kediri, Jawa Timur, menuai reaksi dari Kemenag, KPAI, dan PPPA. Apa reaksi mereka?

1 Maret 2024 | 11.27 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Kasus santri yang mengalami penganiayaan hingga meninggal dunia di Kediri, Jawa Timur, menyita perhatian Kementerian Agama (Kemenag), Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA).

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kemenag Kantor Wilayah Jawa Timur (Kemenag Jatim) berencana membuat aturan baru buntut kasus ini. Sementara KPAI memastikan terpenuhinya hak keluarga korban atas pemulihan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sedangkan Kemen PPPA meminta semua pondok pesantren terdaftar di Kemenag agar dapat dibina dan diawasi serta memenuhi standar perlindungan anak. Berikut pernyataan selengkapnya yang dihimpun dari Tempo.

Kemenag Jatim berencana buat aturan baru

Kabid Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Kanwil Kemenag Jatim, As'adul Anam Jatim berencana membuat aturan baru buntut kasus ini.

"Kami akan mengawal kasus ini dengan menerjunkan tim ke lapangan besok. Kami berharap pertemuan besok bisa menghasilkan suatu kesepakatan sebagai aturan atau kebijakan baru," kata As'adul, Kamis, 29 Februari 2024.

Dia juga mengatakan bahwa pesantren Al Hanifiyyah Kediri sudah mulai terbuka perihal penganiayaan santri tersebut. Saat ini, kepolisian juga tengah mengumpulkan bukti-bukti demi mendalami kasus ini.

Selain itu, As'adul membenarkan bahwa pesantren itu belum berizin karena baru berdiri. Namun, pesantren itu berdampingan dengan Pondok Pesantren Al Ishlahiyah yang sudah lama berdiri.

"Memang belum mengajukan izin operasional, tapi kami sudah berkoordinasi dengan PWNU Jatim untuk menyelesaikan lembaga pesantren yang belum ada izin, " ucap As'adul.

As'adul lalu menjelaskan bahwa pihaknya akan melakukan sejumlah antisipasi untuk mencegah kasus serupa kembali terjadi. Seperti sosialisasi kegiatan keagamaan anti kekerasan di pesantren-pesantren.

"Semoga bisa mengurai problem yang ada di pesantren, " tandas As'adul.

Selanjutnya: KPAI pastikan terpenuhinya hak keluarga korban

KPAI pastikan terpenuhinya hak keluarga korban

Anggota KPAI sekaligus pengampu klaster-klaster pendidikan waktu luang dan agama, Aris Adi Leksono, menyesalkan tindak kekerasan terhadap anak di lingkungan pondok pesantren yang mengakibatkan jatuhnya korban jiwa.

KPAI meminta Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana atau DP3APKB Kabupaten Kediri untuk memastikan terpenuhinya hak keluarga korban atas pemulihan. Dia meminta agar kepolisian mengusut tuntas kasus tersebut dan memproses 4 tersangka seniornya yakni MN 18 tahun, MA 18 tahun, AF 16 tahun dan AK 17 tahun menggunakan asas sistem Peradilan Pidana Anak sebagaimana Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012.

“KPAI akan melakukan pengawasan ke Kediri bersama tim untuk memastikan perlindungan dan pemenuhan hak anak dalam kasus ini,” kata Aris melalui keterangan tertulisnya pada Kamis, 29 Februari 2024.

Saat ini, kata Aris, ke-4 pelaku sudah ditangkap dan ditahan serta ditetapkan sebagai tersangka di Polresta Kediri. Tingginya angka kekerasan di lembaga pendidikan menurut Aris adalah permasalahan serius. Penyelesaiannya harus menerapkan upaya-upaya perlindungan khusus bagi anak sebagaimana dalam Undang-Undang Perlindungan Anak Pasal 59A berisi perlindungan khusus bagi anak melalui upaya:

- Penanganan yang cepat termasuk pengobatan dan atau rehabilitasi secara fisik, psikis dan sosial serta pencegahan penyakit dan gangguan kesehatan lainnya.

- Pendampingan psikososial pada saat pengobatan sampai pemulihan. Pemberian bantuan sosial bagi anak yang berasal dari keluarga tidak mampu.

- Pemberian perlindungan dan pendampingan pada setiap proses peradilan.

Dia berharap agar semua pihak tidak mentolerir budaya kekerasan terhadap anak termasuk di lingkungan pondok pesantren dan lembaga pendidikan lainnya baik formal maupun non formal. “Kepada semua masyarakat agar berperan dalam mencegah dan menangani kekerasan terhadap atau oleh anak dengan meningkatkan pengetahuan dalan mengenali hak-hak anak dalam melindungi dari berbagai bentuk kekerasan,” katanya.

Selanjutnya: PPPA minta semua ponpes dibina dan diawasi

PPPA minta semua ponpes dibina dan diawasi

Deputi Bidang Perlindungan Khusus Anak Kementerian PPPA Nahar meminta semua pondok pesantren atau ponpes terdaftar di Kemenag agar dapat dibina dan diawasi serta memenuhi standar perlindungan anak.

"Berharap semua ponpes harus terdaftar sebagai lembaga yang bisa dibina dan diawasi," kata Nahar seperti dikutip dari Antara, Rabu, 28 Februari 2024.

Kementerian PPPA, kata dia, juga menyoroti pentingnya setiap satuan pendidikan, termasuk pondok pesantren, untuk memenuhi standar Lembaga Perlindungan Khusus Ramah Anak (LPKRA).

"Ini penting agar menjadi pelajaran bahwa setiap satuan pendidikan, termasuk pondok pesantren, wajib memenuhi standar LPKRA," kata Nahar.

Sebelumnya Kantor Wilayah Kemenag Jawa Timur mengungkapkan bahwa PPTQ Al Hanifiyyah tidak memiliki izin sebagai tempat pondok pesantren.

Kepala Bidang Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Kanwil Kemenag Jawa Timur Mohammad As'adul Anam mengatakan PPTQ Al Hanifiyyah belum memiliki izin operasional pesantren. Namun pesantren itu telah menghimpun 74 orang santri putri dan 19 orang putra.

"Kami menyayangkan kekerasan di Pondok Pesantren Al Hanifiyyah Mayan Mojo itu dan turut bela sungkawa pada keluarga korban atas kejadian tersebut," kata dia.

Direktur Jenderal Pendidikan islam Kemenag M. Ali Ramdhani mengatakan nama PPTQ Al Hanafiyah secara definisi umum memang pesantren. Karena, pesantren prinsipnya lahir dan untuk masyarakat. Namun dalam konteks negara, pesantren tersebut tidak mengantongi izin.

"Seperti, kan, orang boleh bikin apapun. Boleh bikin sekolah? Boleh. Boleh bikin universitas? Boleh. Tetapi kalau izin tidak dikeluarin, apakah bisa disebut universitas?" kata Ali.

Sebelumnya diberitakan, seorang santri PPTQ Al Hanifiyyah Kediri, Jawa Timur, diduga dianiaya 4 santri lainnya hingga meninggal dunia pada Jumat 23 Februari 2024. Korban sempat meminta tolong ibunya untuk dipulangkan melalui pesan whatsapp.

HANAA SEPTIANA | DESTY LUTFIANI

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus