Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Kepulauan Mentawai - Banyak cara menghadapi gempa dan tsunami. Salah satunya adalah membangun pondok tsunami, seperti yang dilakukan Herianto Samanjolan, warga Kecamatan Siberut Utara, Kabupaten Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat. Dia dan banyak warga Mentawai lainnya membangun semacam shelter di Bukit Tamairang, 3,5 kilometer dari Desa Sikabaluan yang berbatasan langsung dengan laut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pondok milik Herianto berdiri kokoh di bukit tersebut. Dia membangun teratak tersebut setelah gempa yang berpotensi menimbulkan tsunami mengguncang Pulau Siberut pada 2005. Di Siberut Utara, bukit seluas 15 hektare ini menjadi satu-satunya tempat yang dinilai aman dari terjangan tsunami. "Terlalu beresiko kalau terus di rumah setelah gempa," kata pria berumur 30 tahun itu, seperti dikutip dari rubrik ilmu pengetahuan dan teknologi Majalah TEMPO edisi 25 April 2016.
Setelah bencana 2005 itu Herianto lantas membeli lahan seluas seperempat hektare di Bukit Tamairang dari seorang Suku Sagurung--masyarakat etnik setempat. Dia kemudian membangun pondok, ladang, serta menggali sumur tempat sumber air bersih. Kini, bangunan beratap daun pohon sagu itu berdiri di tengah-tengah ladang tanaman palawija dan buah, yang ia tanam sendiri. Terdapat dua kamar tidur dan dapur di bagian belakang di pondoknya.
Jejak Herianto diikuti banyak warga lain. Cristina Suharti Tapokapkop, pegawai Puskesmas Muara Sikabaluan, warga Desa Sikabaluan, misalnya. Dia membangun sebuah pondok berukuran 15 meter persegi di bukit yang sama dengan biaya sendiri.
Di sekitar pondok, Cristina menanam pohon pisang, keladi, serta cengkeh. Sebulan sekali, dia dan suaminya membersihkan pondok mengungsi itu dan mengganti bahan sembako, seperti kopi dan gula, yang hampir kadaluwarsa. "Makanan ini disiapkan supaya saat tsunami datang kami cukup bawa badan dan beras beberapa liter saja," ujarnya.
Jumlah "pondok tsunami" di Bukit Tamairang kian bertambah setelah terjadi tsunami di Pulau Pagai pada 2010. Kini, ada 600 pondok yang dibangun di bukit itu. Warga Desa Sikabaluan, Muara, dan Nang-nang, mempunyai alasan kuat untuk membangun pondok-pondok di Bukit Tamairang. Yakni, lokasi rumah warga di Siberut Utara berbatasan langsung dengan laut. "Yang akan langsung habis kalau diterjang tsunami," ujar Kepala Desa Sikabaluan, Junaidi Sekerebau. Lokasi ini berbeda dengan pemukiman warga di Kecamatan Siberut Tengah dan Selatan, yang berada di atas bukit.
Menurut Nugroho Dwi Hananto, peneliti geoteknologi dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, ada energi besar yang belum terlepas di bawah perairan Mentawai. Energi besar tersebut kerap disebut sebagai gempa megathrust. "Inilah yang bisa menyebabkan tsunami besar seperti di Aceh," tuturnya.
Nugroho sampai pada kesimpulan itu selesai memetakan struktur bawah laut di Cekungan Wharton dan Mentawai Gap, lepas pantai barat Mentawai, pada Juli 2015. Dua lokasi pemetaan itu merupakan zona subduksi (tumbukan) antara Lempeng Indo-Australia dan Lempeng Eurasia. Beberapa penelitian tentang zona ini sebelumnya mengungkap belum ada
gempa megathrust yang terjadi selama 200 tahun terakhir. Alih-alih melepaskan tenaga, kedua lempeng ini malah terus saling menekan dengan kecepatan rata-rata 5,7 sentimeter per tahun.
Laju lesakan dua lempeng benua ini semakin kuat lantaran dorongan sungai bawah laut yang berada di kedalaman 5.000-6.500 meter. "Walhasil, memunculkan cekungan di bawah permukaan yang menambah energi potensi gempa," tutur Nugroho. "Gempa megathrust bisa terjadi kapan saja." Setidaknya ada 48 ribu warga Mentawai yang terancam tsunami.
Kesiapan menghadapi gempa megathrust dan tsunami juga dilakukan oleh pemerintah Kepulauan Mentawai. Sejak tsunami Pagai, pemerintah daerah setempat sudah merelokasi 2.072 kepala keluarga ke pemukiman yang jauh dari pantai. Sejak 2015, rencana tata ruang wilayah (RTRW) Mentawai malah direvisi untuk menyiapkan lahan relokasi penduduk. "Sebanyak 42 persen hutan produksi diubah sebagai pemukiman," ujar Wakil Bupati Kepulauan Mentawai, Rijel Samaloisa, kala itu.
Kantor pemerintahan, sekolah, dan gedung fasilitas kesehatan juga mulai dibangun di dekat Bukit Tamairang. Proses pembangunan Jalan Trans Mentawai pun jauh dari pantai. Tak hanya itu, dalam musyarawah bersama warga disepakati untuk membangun uma--rumah adat Mentawai berukuran besar--di perbukitan untuk shelter pengungsian. "Anggarannya nanti diambil dari dana desa," tuturnya.
Meski persoalan "kapan” gempa megathrust akan lepas masih terselubung misteri, inisiatif yang dilakukan warga Siberut Utara di Bukit Tamairang semestinya dicontoh. Yang terpenting adalah evakuasi segera. "Waktu evakuasi sempit sekali. Saya Cuma ingin semua keluarga aman," kata Herianto.
Simak artikel menarik lainnya seputar pondok tsunami hanya di kanal Tekno Tempo.co.
MAJALAH TEMPO