Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Dua harimau sumatera usia remaja tertangkap kamera milik WWF Indonesia ketika sedang mengikuti seekor tapir di kawasan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, Lampung pada bulan Maret 2019.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Dalam video di akun Twitter WWF Indonesia, terlihat seekor tapir dewasa sedang berlari kecil. Kamera kemudian menangkap gerak-gerik dua macan muda di belakang tapir.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Tampaknya tapi sadar sedang diikuti, terlihat ia berhenti dan melihat ke belakang. Macan ikut berhenti, dan ketika tapir bergerak kedua harimau ini pun ikut lari. Keduanya mengikuti tapir sambil berlari kecil dalam jarak 2 atau 3 meter.
Menurut WWF-Indonesia, nasib tapir tersebut masih belum diketahui. Namun, berdasarkan hasil studi yang ada, tapir bukan merupakan satwa yang umum disantap oleh harimau.
Melihat ciri fisik harimau dalam video, kemungkinan dua kucing raksasa ini masih berusia remaja. Biasanya harimau remaja mulai meningkatkan kemandirian sebelum berpisah dengan sang induk di umur sekitar 2 tahun. Dalam proses ini mereka akan mencoba mengasah keterampilan dan tidak terlalu dekat dengan induknya meskipun sesekali berkumpul.
<iframe width="560" height="315" src="https://www.youtube.com/embed/xMsQEBRG_Yw?controls=0" frameborder="0" allow="accelerometer; autoplay; encrypted-media; gyroscope; picture-in-picture" allowfullscreen></iframe>
“Harimau jantan remaja akan berpindah wilayah untuk mencari daerah jelajah baru menjauhi teritori induknya, sedangkan harimau betina memiliki kecenderungan tidak berpindah terlalu jauh dari teritori induknya,” ujar Elis Nurhayati, Direktur Komunikasi WWF-Indonesia kepada Tempo.co, Kamis, 8 Agustus 2019.
Saat ini kepadatan populasi harimau di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan cukup tinggi yaitu sekitar 2,8 individu/100km2 (angka populasi 1,7-4.4) berdasarkan hasil penelitian Pusparini, 2017, sedangkan dari dokumen pemerintah terdapat 600 individu yang masih berkeliaran bebas di seluruh hutan Sumatera.
Pada beberapa tempat seperti kawasan Tesso Nilo, Riau, penyusutan tutupan hutan yang tajam berpengaruh terhadap populasi harimau. Selain itu, perburuan terhadap harimau maupun satwa mangsanya juga berpengaruh, begitu pula konflik antara manusia dan harimau.
“Di beberapa tempat semakin sulit untuk memantau keberadaan harimau karena populasinya semakin turun dan bahwa punah lokal,” kata Elis.
Pemerintah bersama beberapa pihak telah membentuk inisasi penangkaran harimau. Beberapa telah berhasil melakukan pembiakan. Biasanya harimau akan melahirkan anak sebanyak 2 hingga 3 ekor.
Harimau secara alamiah adalah satwa soliter yang mempertahankan teritorinya. Mereka akan mempertahankan teritorinya, terutama jantan untuk memperoleh kesempatan meneruskan genetiknya.
Satu jantan bisa melingkupi 2-5 teritori betina. Mereka akan kawin sesuai dengan periodenya. Anak akan bersama dengan induk hingga mereka siap untuk mandiri sekitar umur 2 tahun. Setelah itu, remaja harimau akan hidup dengan saudaranya hingga mereka siap untuk berpisah mandiri.
“Breeding saja tidak cukup, kita juga harus mampu menjamin keragaman genetik, kemampuan adaptasi dan kesiapan harimau - harimau yang lahir di sanctuary untuk dapat dilepasliarkan mendukung populasi harimau di alam,” kata ELis.
Maraknya kejadian harimau masuk pemukiman warga disebabkan oleh ekosistem mereka yang semakin terkikis. Wilayah jelajah harimau sangat luas, untuk jantan dapat mencapai lebih dari 100km2.
Secara alamiah, harimau cenderung menghindari manusia kecuali harimau tersebut telah berubah perilaku karena sakit atau tidak peka terhadap kehadiran manusia karena kerap berjumpa dengan manusia.
“Harimau tua yang terusir dari teritorinya juga cenderung berpindah, atau harimau muda transient yang mencari wilayah jelajah baru juga cenderung melakukan perjalanan. Sayangnya koridor tempat mereka berpindah telah menjadi kawasan manusia sehingga mereka memasuki kawasan hunian manusia,” katanya.
Pada beberapa kawasan di Sumetera masyarakat sekitar, terutama masyarakat asli sadar akan menurunnya populasi harimau di habitatnya. Mereka memiliki ikatan emosional dan budaya yang kuat dengan harimau sehingga dalam kehidupan keseharian mereka sadar bahwa harimau mulai jarang.
Tren perburuan harimau pun juga sangat dinamis, sesuai dengan permintaan dan lonjakan kebutuhan yang terjadi di masyarakat, serta ketersediaan harimau untuk di buru. Pada beberapa tempat, angka perburuan mengalami penurunan, tapi bukan berarti ini positif melainkan akibat kemunculan harimau yang semakin jarang untuk diburu.
“Kami telah melakukan upaya penyadartahuan dan hasilnya, setidaknya 3 orang pemburu harimau saat ini telah menyatakan tobat. Menurut penuturan mereka, pada dasarnya mereka takut dengan hukum baik hukum negara maupun hukum karma dari alam karena perbuatan mereka,” kata Elis.
CAECILIA EERSTA