TEMPO.CO, Jakarta -- Tragedi Bintaro memunculkan banyak cerita soal suka-duka kehidupan penjaga palang itu. Mereka tak hanya berisi orang yang sudah puluhan tahun bekerja di PT Kereta Api Indonesia. Ada pula yang masih hijau atau berasal dari kalangan satpam personel perusahaan jasa keamanan swasta yang dikontrak KAI. Tak ketinggalan juga warga yang tinggal di sekitar rel kereta.
Samsudin, pria paruh baya ini, sudah 21 tahun menjaga pintu di Pos 20 atau biasa disebut Pos Apotek Sarisakti di Jalan Raya Tanjung Barat, Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Ayah tiga anak ini tinggal di kawasan Depok, dekat UI. Dia berjaga dengan empat personel lainnya yang terbagi jadi tiga shift.
Pada dasarnya sirine dan palang pintu lintasan kereta berbunyi dan bergerak secara otomatis. Pengoperasian manual hanya dilakukan petugas jika sinyal mati, misalnya akibat tersambar petir.
Bagaimana pun, tugas mengawasi palang pintu tidak bisa diremehkan. Tiap perlintasan ini punya karakter sendiri. Di pos Samsudin, lintasan kerap dilewati metromini dan angkot, seperti Metromini 62, 40, 75, serta angkot 15A dan 129. Sehingga, korban kecelakaan di sana biasanya angkutan umum yang bandel.
Mengingatkan pengendara, dia justru diomeli balik. "Pas kereta lewat, orang buru-buru mau nyebrang. Pas kereta sepi, orang nyebrang lihat kanan-kiri. Bingung saya," kata pria berambut ikal ini. Jam paling ramai adalah 5-6 sore . "Pagi masih sepi." Namun, dua bulan belakangan, pekerjaan saat shift malamnya bertambah. Sebab, lewat tengah malam ada kereta barang mengangkut semen ke Cibinong ke Surabaya.
Pengalaman terburuk baginya adalah menyaksikan pria bunuh diri di rel tahun lalu. Jasad pria itu terpotong-potong lalu berserakan sepanjang satu kilometer di depan posnya. "Saya enggak nafsu makan seminggu."
Ia juga masih ingat musibah paling menyayat hati. Satu keluarga menerobos palang pintu, lalu mobilnya mogok di tengah rel. "Si ayah dan ibu berhasil lari, tapi anaknya masih kecil tertinggal di dalam mobil." Si ibu histeris menyaksikan anaknya tertabrak.
Masih segar dalam ingatan Samsudin saat dia dicaci-maki anggota Brimob. "Pernah lima bulan lalu yang tertabrak orang militer. Saya yang jadi sasaran dimaki-maki." Padahal, dia melihat sendiri personel itu nyelonong melewati palang pintu. "Untungnya di sini banyak warga jadi saksi."
Soal mistis, menurut dia, hal itu ada di setiap perlintasan kereta. Di posnya, beredar cerita warga menyaksikan potongan kepala melewati lintasan. Dia sendiri pernah mendengar jelas suara rintihan minta tolong di malam hari. "Mau nolongin ternyata orangnya enggak ada." Tapi Samsudin cuek. "Dunia sendiri-sendiri lah," katanya tertawa.
Sedangkan hal tak enak bagi dia adalah Samsudin sering menderita batuk dan pusing akibat polusi jalanan. Kalau sudah begitu, dia periksakan diri ke dokter KAI. Karena itulah, dia setia mengenakan masker saat bertugas, seperti ketika ditemui Tempo, Selasa, 10 Desember 2013. Selain itu, Samsudin menyesalkan sering absen Salat Jumat. Soalnya, petugas per shift hanya satu orang. "Enggak ada yang gantiin."
Samsudin enggan menyebut gaji. Dia menilai gajinya cukup buat menghidupi istri dan tiga anak. Ia mengaku tak mau mencari pekerjaan lain. Mutasi saja dia emoh. "Denger-denger saya mau dipindah ke Sukabumi. Capek."
Walau tak mau ganti profesi, dengan gamblang dia menyatakan tak merasa senang dengan pekerjaannya. "Enggak ada enaknya. Coba bayangin apa enaknya jaga pintu," kata Samsudin seraya tertawa. Bagaimana pun, dia cukup senang bisa menjaga keselamatan banyak orang.
Lihat juga:
Kisah Penjaga Palang Kereta 2: Meriang Masuk Angin
Kisah Penjaga Palang Kereta 3: Pantangan Bertugas
Kisah Penjaga Palang Kereta 4: Akrab Tragedi
ATMI PERTIWI
Terkait:
INFOGRAFIS Kronologi Tragedi Bintaro
FOTO Sopir Truk Tragedi Bintaro Dirawat di RSPP
FOTO Bentuk Truk Tangki Usai Tertabrak KRL di Bintaro
Mengapa Masinis Kereta Bintaro Tak Mengerem?