Namun demikian, Soetjipto yang dalam kesempatan itu didampingi Wakil Sekjen PDI-P, Pramono Anung dan Agnita mengaku tidak tahu agenda yang di maksud ketua umumnya. “Penegasan ibu cuma begitu, soal kriterianya seperti apa tergantung pada masing-masing pihak yang terlibat,” tambah mantan ketua DPD PDI Jawa Timur ini.
Sementara itu, Wakil Sekjen DPP PDI-P, Pramono Anung kepada Koran TEMPO menambahkan, agenda yang dimaksud haruslah dalam kerangka upaya penyelamatan bangsa. Asal agendanya bukan bagi-bagi kekuasaan dan juga bukan reshuffle kabinet, kata Pramono, PDI-P akan mendukung.
Pernyataan Pramono tersebut dibenarkan Soetjipto. Kata Soetjipto, PDI-P tidak tertarik dan tidak pernah mendukung model-model politik dagang sapi. “Politik jenis ini tidak akan menyelesaikan masalah,”kata Pak Tjip, panggilan akrab Soetjipto. Ia menegaskan, saat ini penyelesaian masalah bangsa tergantung pada faktor kepemimpinan kepala negara dalam menyelesaikan persoalan pemerintahan. “Bagaimana bisa pemerintahan berjalan, kalau setiap Kamis ganti menteri,”kata Soetjipto lagi.
Menanggapi usul Ketua Umum Partai Golkar, Akbar Tandjung, bahwa untuk bidang politik, salah satu agenda yang harus dibahas adalah pemisahan jabatan kepala negara dan kepala pemerintahan, Pramono mengatakan, usul tersebut terbentur konstitusi. Usul seperti itu, jelas Wakil Sekjen PDI-P ini, hanya bisa dilakukan dalam sistem pemerintahan parlementer.
Namun demikian, lanjut Pramono, sebagai sebuah konvensi dan terobosan politik, usul pemisahan kekuasaan tersebut patut dipertimbangkan. Ia mencontohkan pada saat terjadi pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) di Madiun, tahun 1948, Soekarno pernah menunjuk Wakil Presiden Moh. Hatta sebagai Perdana Menteri. Konvensi ini, kata Pramono, bisa menjadi rujukan baru sebatas wacana dan sudah menjadi pembicaraan serius di kader PDI-P. “Cuma, belum menjadi sikap partai,” kata Pramono mengelak. (Oman Sukmana)