Sebenarnya, kondisi Maladi kemarin pagi (30/4) menunjukkan perkembangan yang menggembirakan. Mesin pembantu telah dilepaskan dan paru-paru pun telah bersih. “Tiba-tiba ada komplikasi perut, mungkin karena telah sepuh, organ perut jadi kena,” tutur Sanjoto, 69 tahun, adik almarhum.
Maladi, yang lahir di Solo, 31 Agustus 1912, tidak bisa dilepaskan dari dunia olah raga terutama sepak bola. Ia pernah menjadi kiper PSIM Yogyakarta pada tahun 1930. Tiga tahun kemudian, Maladi menjadi pemain Persebaya Surabaya. Ia juga pernah menjadi kiper tim nasional Indonesia.
Kiprahnya di kepengurusan PSSI juga sangat penting. Ia menjadi ketua umum PSSI tahun 1951–1959. Pada Kongres PSSI tahun 1951, Maladi mengubah kepanjangan PSSI dari Persatuan Sepakraga Seluruh Indonesia. Sebagai ketua umum PSSI, Maladi mendatangkan pelatih Tony Pogacnik yang mengantar tim nasional mampu menahan Rusia 0-0 di Olimpiade Melbourne. Bahkan sampai akhir hayatnya, ia masih tercatat sebagai Ketua Dewan Kehormatan PSSI.
Ia pernah menjadi Kepala Solo Hosokyoku (Kepala Stasiun RRI) di masa revolusi kemerdekaan dan masa Agresi Belanda II. Ia dipindahkan ke Jakarta untuk menduduki posisi Dirjen RRI pada 1959. Setahun kemudian, ia dilantik menjadi Menteri Penerangan. Baru pada 1962, ia menjabat Menteri Olahraga dan menyelenggarakan Asian Games 1962 dan Ganefo pada 1964 di Jakarta.
Penghargaan yang diterima almarhum adalah Bintang Gerilya, Bintang Kemerdekaan, dan Mahaputra Kelas Tiga. Selain itu, almarhum, piawai dalam mencipta lagu keroncong langgam, di antaranya, Rangkaian Melati, Di Bawah Sinar Bulan Purnama, Telaga Biru, Biola Tiga Satu Suara, dan Nyiur Hijau.
Almarhum meninggalkan istri, Siti Khadijah, 79 tahun, sembilan anak, 20 cucu, dan 2 cicit. Hadir melayat malam kemarin, Presiden Abdurrahman Wahid dan Menteri Perhubungan, Agum Gumelar, yang juga Ketua PSSI. Jenazah akan dikebumikan di TMP Kalibata Jakarta Selasa siang. (Istiqomah/Yudono)