Ketidakjelasan pola organisasi tersebut, jelas Joedono, di satu sisi karena BPPN adalah lembaga pemerintah yang memiliki kekuasaan begitu besar untuk mengelola aset negara. Di sisi lain, pola pengambilan kebijakan seperti pengupahan, misalnya, mengikuti pola perusahaan swasta yang berbeda dengan sistem pengupahan pegawai negeri sipil. Ketidakjelasan pola akan sangat membingungkan untuk menentukan standard akuntansi yang harus digunakan.
Sampai kini, selama dilakukan audit BPPN oleh akuntan publik selalu menghasilkan kesimpulan disclaimer. Dengan kesimpulan disclaimer, berarti angka-angka laporan keuangan yang dihasilkan BPPN tidak bisa dipercaya kebenarannya didasarkan pada prinsip-prinsip akuntansi. Rasio-rasio keuangan yang dihasilkannya pun tidak bisa dipercaya juga.
Hingga audit terakhir yang dilakukan Hans Tuanakota Mustafa dan Deloitte Touche Tomatsu (HTM) lalu, BPPN telah dua kali diaudit oleh akuntan publik. Masing-masing auditor memberikan hasil yang sama, yakni disclaimer.
Secara pribadi, Joedono, menganggap persoalan status BPPN perlu dipikirkan secara seksama. “Saya khawatir kalau ini tidak dipikir lebih lanjut siapa pun yang mengaudit akan menghasilkan disclaimer,” tandas Billy yang juga mantan menteri perdagangan ini.
Kesimpulan disclaimer tersebut, kata Joedono, bisa berdampak pada kepercayaan investor atau pun pihak-pihak yang terkait dengan BPPN. Akibatnya, jika berlarut-larut berdampak pada penyelesaian aset-aset negara yang berlarut-larut pula. “Perlu dibicarakan lagi dengan lembaga internasional (IMF-red) yang telah mendorong Indonesia mendirikan badan ini,” jelas dia kepada pers.
Tentang ketidak jelasan pola struktur organisasi BPPN tampak pula dengan tidak adanya peraturan khusus yang mengatur mekanisme lembaga dengan penguasaan asset yang sangat besar ini. “Yang ada sekarang hanya Keppres dan Undang-undang tentang Perusahaan negara, Departemen, Bursa, dan yang lain tapi tidak ada tentang BPPN,” kata dia. Akibat ketidakjelasan pola organisasi ini, diantaranya adalah setelah masa tugas BPPN usai pada 2004, pengalihan seluruh hak dan kewajiban BPPN tidak jelas tujuannya.
Namun demikian, kata Joedono berharap agar masyarakat tidak mengambil kesimpulan negatif yang terlalu cepat kepada kinerja BPPN. Akan lebih baik kalau Kepala BPPN memberi penjelasan kepada masyarakat mengenai penyebab discalimer yang berkali-kali ini.
Seperti telah diberitakan sebelumnya, pada 2 Juli lalu, auditor publik Hans Tuanakota Mustafa mengumumkan hasil kesimpulannya terhadap audit BPPN. Tanggapan Putu yang juga mantan kepala Badan Pengawas Pasar Modal ini (BAPEPAM) ketika itu, bila ingin “naik kelas” pada tahun 2001, BPPN hanya punya waktu enam bulan. Yaitu 1 Juli hingga 31 Desember 2001 mendatang. (Rif’at Pasha)