“Kita harus melihat yang mana (BUMN-red) yang siap, dengan kondisi pasar yang baik. Kalau menurut kriteria itu, Telkom adalah perusahaan yang siap,” tutur Laksamana kepada para wartawan uasai menghadiri Seminar Peluang Bisnis Pasca WTC Era AFTA-APEC di Hotel Borobudur Jakarta, Senin (12/11) siang.
PT Telkom, kata Menteri, harus secepatnya melakukan privatisasi. Alasannya, karena perkembangan teknologi komunikasi yang pesat memungkinkan produksi PT Telkom menjadi kadaluarsa jika tidak segera melakukan pembaharuan-pembaharuan yang bisa diupayakan melalui privatisasi.
Laksamana juga menekankan, Pemerintah maupun DPR harus secepatnya menyelesaikan masalah penyesuaian tarif disektor telekomunikasi agar harga saham PT Telkom bisa lebih tinggi. Dia menganggap, hambatan penyelesaian kenaikan tarif Telkom dapat membuat para investor yang akan membeli saham perusahaan tersebut menjadi mundur. “Dalam hal ini, ada sell strategic yang harus dilakukan ,” ujar Laksamana.
Namun, ia tidak menjelaskan strategi apa yang akan dilakukan pemerintah untuk menjual saham PT Telkom. Diakuinya, dirinya sudah meminta saran kepada pihak-pihak terkait untuk memilih strategic secondary offering atau penjualan melalui strategic investor untuk menjual saham PT Telkom.
Seperti diketahui, pemerintah dan DPR mengalami dead lock dalam membicarakan kenaikan tarif telepon. Dead lock inilah yang menyebabkan sedikit tersendatnya rencara privatisasi PT Telkom, karena belum diputuskan kenaikan tarif penggunaan telepon.
Pada kesempatan yang sama, Laksamana juga sempat menyinggung masalah privatisasi Socofindo, sebuah perusahan perkebunan milik negara. Menurut dia, pemerintah sudah menyetujui penjualan 305 saham dari 40 persen saham milik pemerintah di Sucofindo. Penjualan 30 persen saham tersebut, menurut Laksamana diperkirakan mencapai nilai sebesar US$40 juta. (Sri Wahyuni)