Iklan
TEMPO Interaktif, Jakarta:Majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang dipimpin Lalu Mariyun, Selasa (24/12), memutuskan terdakwa Rahardi Ramelan bersalah dalam perkara korupsi di Badan Urusan Logistik (Bulog). Bekas Kepala Bulog/Memperindag itu dikenakan hukuman 2 tahun penjara, serta diwajibkan membayar denda Rp 50 juta subsider 3 bulan kurungan. Selain itu, Rahardi juga diharuskan membayar ganti rugi sebesar Rp 400 juta. Putusan hakim ini lebih ringan dibanding dengan tuntutan jaksa Kemas Yahya Rahman yang menuntut Rahardi dengan hukuman 5 tahun penjara, membayar denda Rp 50 juta, dan membayar ganti rugi Rp 22 miliar. Tuntutan ini seiring dengan dakwaan yang menyatakan Rahardi bersalah karena telah menyalahgunakan wewenang sehingga merugikan negara sebesar Rp 62,9 miliar. Sebelum membacakan keputusan akhir, hakim juga membacakan beberapa hal yang memberatkan dan meringankan terdakwa. Untuk yang memberatkan adalah, terdakwa tidak merasa bersalah dan tidak menyesali pebuatannya. Selain itu, tindakan terdakwa dinilai tidak berdasarkan hukum karena mengikuti kebiasaan-kebiasaan pendahulunya, yang justru bertentangan dengan agenda reformasi. Sedangkan pertimbangan yang meringankan, terdakwa tidak pernah dihukum, bersikap sopan, mematuhi jalannya persidangan, dan sebagai teknokrat pernah mendapat penghargaan dari dalam dan luar negeri. Terdakwa juga dinilai sebagai ilmuwan yang masih bisa diharapkan bagi bangsa dan negara. “Sebagai bapak (kepala keluarga), terdakwa mempunyai harapan besar, dan senantiasa untuk dapat tetap mengayomi seluruh keluarga,” kata Lalu Mariyun. Dalam dalam sidang hari ini, majelis hakim yang terdiri dari Lalu Mariyun, Hesmu Purwanto, dan IDG Putra Jadnya secara pergantian membacakan hasil keputusan. Hakim mengatakan, ada 2 tindakan Rahardi yang dinyatakan terbukti bersalah, yaitu mengenai pengeluaran dana nonbujeter Bulog sebesar Rp 400 miliar dan Rp 4,6 miliar. Disebutkan, dana Rp 400 juta diberikan kepada Laode Kamaluddin untuk penyeimbang berita media massa berkaitan dengan Sidang Umum MPR 1999. Sedangkan untuk yang Rp 4,6 miliar dikeluarkan sebagai dana talangan Bank Garansi PT Bulog Batara Sakti. “Pengeluaran dana tersebut bukan atas perintah Presiden dan bukan melaksanakan tugas pokok dan fungsi Bulog,” kata hakim Hesmu Purwanto saat membaca pertimbangan. Sedangkan pengeluaran dana Rp 40 miliar sebagai bantuan sembako kepada rakyat miskin, Rp 10 miliar untuk pengamanan distribusi sembako dan pengamanan agenda reformasi, Rp 2,2 miliar untuk membeli perlengkapan Paspampres, serta Rp 2,7 miliar untuk pembangunan Science Centre di Taman Mini, dinyatakan hakim bukan sebagai tindak pidana. Hal itu dilakukan terdakwa untuk melaksanakan perintah Presiden. Atau, setidaknya telah mendapatkan persetujuan Presiden. Begitu juga terhadap dana yang dikeluarkan untuk dekorasi Istana Negara menyambut HUT RI sebesar Rp 100 juta, pemberian penghargaan kepada atlet renang berprestasi Rp 600 juta, penelitian Komisi V DPR tentang beras oplosan Rp 150 juta, bantuan simposium IPB sebesar Rp 50 juta, perjalanan dinas Paspampres Rp 300 juta, dan pembangunan masjid di Bulog Rp 1,6 miliar. Menurut hakim, pengeluaran-pengeluaran ini dapat dimaklumi karena meringankan beban negara, meskipun bukan atas perintah Presiden dan bukan menjalankan tugas pokok dan fungsi Bulog. Rahardi yang dari awal persidangan telihat tenang dan santai di kursi pesakitan, sempat terhenyak mendengar putusan hakim. Raut wajahnya berubah tegang. Namun, beberapa saat kemudian, dia sudah bisa mengendalikan diri. “Saya menghormati keputusan hakim, namun saya tetap merasa tidak bersalah,” kata Rahardi ketika diminta tanggapannya oleh hakim. Bahkan, dia sempat melontarkan akan mengajukan banding. Namun, usai sidang, penasehat hukum Rahardi, Trimoelja D. Soerjadi, menyatakan pihaknya belum memutuskan apakah akan mengajukan banding atau tidak. “Tapi (tentang) putusan (hakim), (kami) tetap tidak terima. Yang jelas, kalau jaksa penuntut umum mengajukan banding, pasti terdakwa banding,” kata dia. Usai sidang, Rahardi langsung dikerubuti wartawan. Menghadapai situasi itu, lelaki kelahiran Sukabumi 1939 ini tampak kerepotan. Tiba-tiba, salah seorang anak Rahardi, menyeruak di antara wartawan dan berteriak, “Mundur, semua mundur,” kata anak kedua Rahardi, yang bernama Dian Kunti Sintorini, berusaha melindungi bapaknya. Ulah Kunti, panggilan akrabnya, sempat membuat cemas ibunya, Tumbu Astiani. Untunglah, Kunti dapat ditenangkan dan keluar dari kerumunan wartawan. Rahardi sendiri kembali duduk di kursi pesakitan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan wartawan. Menurut Rahardi, meskipun tidak menerima keputusan hakim, dia tetap menghormati keputusan itu. “Dari awal persidangan, saya sudah katakan, saya tetap merasa tidak bersalah, baik dalam mengeluarkan kebijakan maupun dalam menerapkan keputusan-keputusan selama menjadi Kabulog,” kata dia. Mengenai dana Rp 4,6 miliar, menurut Rahardi, apa yang disampaikan hakim itu tidak benar. Tindakan itu dia lakukan untuk mengamankan asset Bulog. Setelah dana itu disetor, uang Rp 1,1 miliar di Bank Garansi PT Goro bisa diambil. Sedangkan sisanya, Rp 3,5 miliar bisa ditagih. “Goro sudah membayar Rp 1,5 miliar dari sisa tagihan itu. Jadi, tidak kadaluarsa dan negara tidak dirugikan,” kata Rahardi lagi. Dalam kesempatan yang sama, Rahardi menyesalkan keterangan saksi Laode Kamaludin yang dinilai tidak memiliki integritas. Laode adalah orang yang menerima dana Rp 400 juta dari kas Bulog. Namun, dalam kesaksiannya, Laode mengaku tidak kenal Rahardi. “Saya menyesalkan Pak Habibie. Karena dia yang menyuruh saya untuk menerima Laode sebagai Inspektur Jenderal Pembangunan,” kata Rahardi kecewa. Usai sidang, Rahardi dan keluarganya terlihat tidak langsung meninggalkan gedung pengadilan. Rahardi bersama tim penasehat hukumnya, Trimoelja, J. Kamari dan Frans Hendra Winata, masuk ke ruang tunggu pengadilan, dan tidak keluar ruangan lebuh dari 2 jam. Sementara itu, keluarganya terlihat asyik menikmati hidangan ‘Hoka-Hoka Bento’ yang diantar oleh kurir. Dalam perkara ini, Rahardi pernah ditahan penuntut umum sejak 28 Februari hingga 19 Maret 2002. Penahanan dilanjutkan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan mulai 6 Maret – April 2002, dan diperpanjang hingga 3 Juni 2002. Namun, sebelum habis masa penahanan, pengadilan mengalihkan penahanan Rahardi menjadi tahanan kota pada 7 Mei 2002. Status tahanan kota ini diperpanjang 2 kali oleh Pengadilan Tinggi DKI Jakarta, 1 Juni hingga 3 Agustus 2002. (Suseno/Purwanto – Tempo News Room)