Mantan Protection Officer PBB di Jenewa tahun 1976-1978 itu mengatakan hal itu sehubungan dengan rencana pemerintah Malaysia memberikan tempat tinggal bagi warga Aceh yang mengungsi. Dia menilai, Pemerintah Indonesia tidak boleh bersikap reaktif atas hal ini, karena kebiasaan internasional membenarkan pemberian suaka sekalipun bagi seoarng pelarian politik. Pemberian suaka bukan tindakan tidak bersahabat, katanya.
Mantan konsultan untuk masalah pengungsi ini menyarankan, agar hubungan bilateral tidak terganggu, pemerintah bisa melakukan upaya diplomasi. Sebab, tidak ada aturan internasional tentang hubungan dua negara yang mengalami masalah pengungsi seperti Indonesia dan Malaysia saat ini.
Malaysia sendiri, katanya, bukan penandatangan Konvensi tahun 1951 tentang pengungsi. Sehingga tidak ada kewajiban internasional apapun bagi Malaysia untuk masalah pengungsi, melainkan hanya kebijakan negaranya saja. Pengungsi, katanya, juga akan diterima UNHCR dulu yang kemudian menguruskan masalah mereka. Kemudian mereka (UNHCR) mencarikan tempat tinggal untuk mereka bila sudah diterima statusnya sebagai pengungsi, katanya.
Ia mengatakan, lembaga PBB untuk urusan pengungsi itu tidak memiliki ukuran melihat apakah pengungsi terlibat GAM atau tidak. Yang UNHCR lihat, adalah bahwa hidup pengungsi dalam bahaya karena adanya masalah ras, agama, atau pandangan politik tertentu yang berbeda.
UNHCR sendiri, katanya, hanya memiliki ukuran mengenai keterlibatan sebagai pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan. Hal itu, katanya, tercantum dalam exclusive clausul. Ini hal yang berbeda, katanya. (Yophiandi - TNR)