Penjelasan ini dikemukakan oleh Koordinator Federasi Transportasi Angkutan Perum PPD Hasibuan, di Jakarta, Selasa (16/9). Manajemen dari dulu telah disoroti, namun tidak pernah terselesaikan, katanya. Efisiensi biaya yang dimaksud adalah soal mark up harga suku cadang bus. Menurutnya, pihak manajemen PPD melakukan kecurangan atas pengadaan suku cadang.
Hasibuan mencontohkan, pengadaan bekrub yang merupakan salah satu suku cadang bus. Harga orisinal suku cadang itu mencapai Rp 1,5 juta. Hal ini ia kutip berdasarkan pengakuan dari pihak manajemen PPD. Namun, dalam kenyataannya yang dipasang adalah suku cadang bekas. Ternyata yang dipakai odong-odong, katanya. Menurutnya, harga yang diberikan oleh pihak manajemen merupakan harga sampah.
Harga itu, menurut Hasibuan, bukan yang sesungguhnya. Akibata kecurangan ini tidak ada jaminan laik jalan untuk pengemudi. Suku cadang orisinal bisa digunakan antara enam sampai delapan bulan. Odong-odong bisa saja tapi baru jalan wes nungging, kata Hasibuan.
Hasibuan menambahkan, sampai saat ini mark up harga suku cadang masih berjalan. Namun, pemakaian suku cadang yang tidak bermutu mengakibatkan awak bus mogok. Selain itu, mereka juga dapat pulang lebih awal ke pool-nya. Yang jelas memelaratkan awak bus, katanya. Jika suku cadang rusak, maka biaya dibebankan kepada awak bus. Hal inilah yang menyebabkan awak bus marah.
Sering terjadi tekanan dari pihak manajemen bus PPD, agar para awaknya mengganti biaya kerusakan bus. Tuntutan ini merupakan pemicu kemarahan awak bus. Sampai hari ini mereka menuntut agar pejabat Depo Perum PPD menyelesaikan masalah ini. Hari ini mereka mendatangi Direktur Perum PPD Jun Tambunan.
Sebelumnya, para awak bus ini sudah mencoba menemui Jun Tambunan. Pertemuan ini mereka lakukan kemarin. Namun, tidak mendapat hasil. Menurut Hasibuan, Jun Tambunan saat ini dalam masa demisioner. Tidak dapat keluarkan kebijakan, katanya.
Hasibuan mengatakan, saat ini ia telah bekerjasama dengan tim terpadu yang berasal antara lain dari Depnaker dan Departemen Perhubungan. Kerja sama ini sudah diputuskan dalam Surat Keputusan Nomor 96/BW/4 Tahun 2002 tertanggal 18 April 2002. Keputusan ini berisi agar Perum PPD harus melakukan efisiensi biaya di seluruh lini. Namun, sampai hari inipun tidak ada komitmen dari manajemen untuk melakukan efisiensi.
Mogok kerja yang mereka lakukan menghasilkan kerugian rata-rata Rp 65 juta perhari. Namun lima hari unjuk rasa tidak mendapat perhatian, kata Hasibuan. Hal ini menurutnya merupakan bukti ketidakpedulian manajemen. Jika semua armada laik jalan hasilnya akan maksimal. Namun, karena suku cadang yang tidak bermutu, bus pulang cepat. Selain perusahaan yang rugi juga memelaratkan awak bus.
Para awak bus ini akan mogok kerja sampai direksi Perum PPD menonaktifkan pejabat struktural di Depo T tempat mereka bekerja. Tuntutan ini dikarenakan pejabat Depo tidak mempunyai komitmen dan tidak menghormati Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 12 Tahun 2003.
Tuntutan lain yang mereka ajukan adalah penggabungan dua depo yang berdekatan menjadi satu areal. Contohnya adalah Depo B dan T yang berada dalam satu jalan, yaitu di Jalan Raya Cawang, Jakarta Timur. Hal yang sama juga terjadi di Depo E dan Depo F Jalan Raya Bekasi Barat, Klender, Jakarta Timur. Seharusnya depo ini digabungkan, sehingga ada areal yang masih bisa digunakan untuk fasilitas umum. Fasislitas yang dimaksud berupa klinik kesehatan atau supermarket.
Agriceli - Tempo News Room